Minggu, 22 Maret 2020

CERPEN KAMPUNG TAMIM (Cerpen Saut Poltak Tambunan)


KAMPUNG TAMIM
Cerpen Saut Poltak Tambunan

Sebotol Coca cola dingin di atas meja, tidak disentuh Romli sama sekali. Ruangan yang harum full AC itu terasa makin gerah. Seramah apa pun Pak Anton yang gagah berdasi ini, tetap saja Romli curiga. Ia tetap merasa orang-orang ini datang jauh-jauh dari kota untuk menjajah kampung.
“Saya tidak akan menjual tanah ini. Ini warisan leluhurku dan akan aku wariskan ke anak-cucuku,” tegas Romli bergumam untuk kesekian kalinya.
“Tapi anak-anakmu sendiri ingin tanah ini dijual saja. Istrimu juga setuju,” tukas Pak Tomi, anak buah kepercayaan Pak Anton, ikut menimpali.
Romli terbungkam. Pak Tomi benar. Ipah, istrinya, serta kedua anaknya. Mumun dan Usman, sudah kebelet betul. Jual saja tanah ini, ambil kreditan rumah BTN di Cikarang dan belikan sepeda motor. Sepeda motor “balap” untuk Usman. Sepeda motor “bebek” untuk Mumun, seperti punya Mandra yang muncul di iklan televisi itu. Dengan sepeda motor itu, Mumun janji akan lebih rajin mengaji dan Usman akan mengojek cari uang.
Tapi bagi Romli masalahnya tidak sesederhana itu. Sudah turun-temurun ia menempati tanah warisan ini. Turun-temurun pula ia setia menekuni pekerjaannya sebagai tukang lemari. Beli kayu mentah di Klender, menukanginya jadi lemari sederhana yang juga mentah tanpa polesan politer, lalu menjualnya kembali ke penampungan di Klender.
Kalau harus pindah dari sini, aku bisa apa? Ikut-ikutan jadi tukang ojek seperti kebanyakan orang kampung ini? Seperti cita-cita si Usman itu? Kata Mumun, Bapak nanti bisa kerja bikin lemari untuk orang-orang di komplek BTN. Ah, enak saja ngomong. Tidak segampang itu, Mun, bantah Romli dalam hati.
“Saya mengerti keadaanmu, Pak Romli,” kata Pak Anton kemudian, “dan itu sebabnya saya bersedia memberikan penggantian lebih besar dari yang diterima tetanggamu, tapi… Pak Romli harus berjanji tidak bilang-bilang kepada mereka.”
Romli tidak bereaksi.
“Kemudian, biaya pemindahan kuburan orangtuamu yang ada di kebun itu, saya juga yang tanggung. Nah, apa lagi yang kurang?”
Romli masih diam.
“Kasihan anak-istrimu itu, Pak Romli,” Pak Tomi nimbrung lagi menambahkan, “mereka tidak mungkin tinggal terus-menerus di situ. Bapak harus menerima kenyataan. Sebagai manusia mereka juga berhak untuk hidup lebih baik. Apalagi anak mantumu sedang hamil, kan?”
“Itu urusan saya,” sahut Romli bergumam. Ia tak suka para penjarah ini bersekongkol dengan kesulitan yang dihadapinya.
“Itu benar. Kami hanya sekedar ingin membantu.”
Lagi-lagi Romli terdiam. Ia tidak mudah dibodoh-bodohi. Ia pernah bersekolah di SD kendati tak sampai tamat. Ia bahkan masih ingat kata Pak Guru bahwa pada mulanya bangsa Belanda datang ke Indonesia dengan dalih membantu. Tahu-tahu menjajah. Dan ini, di hadapannya kini berdiri “belanda-belanda” baru.
“Begini, Pak,” tukas Romli kemudian menegakkan kepalanya, “kalian itu merampok segala-galanya dari kampung Tamim. Ketenteraman, pencaharian, kerukunan, bahkan persaudaraan kami. Sekarang saya terkucil. Bahkan kalian keruk tanah di sekitar rumah saya sehingga rumah saya jadi nyangsang di atas bukit. Sanak saudara menertawakan saya. Bahkan anak-bini saya pun dihasut memusuhi saya.”
“Maafkan, Pak Romli,” sergah Pak Anton, “sebaiknya tidak bicara begitu. Demi Tuhan, tak ada niat kami untuk menyusahkan Bapak.”
“Yah, memang. Tapi berniat atau tidak, akibatnya sama saja bagi saya. Tetap saja saya yang susah.”
“Susahnya Pak Romli itu dibikin sendiri,” tambah Pak Tomo. “Rumah Bapak itu sudah tua. Lantainya tanah. Atapnya bocor di sana sini. Padahal kalau mau, Pak Romli bisa tinggal di rumah BTN yang lantainya kinclong. Pakai keramik.”
“Jelek-jelek, itu rumah warisan. Dan, mau bocor mau nggak. Itu urusan saya,” sela Romli, lagi-lagi merasa jengah tawaran yang menggiurkan itu disandingkan dengan kemiskinannya. “Aku tidak mau sejarah saya digusur begitu saja. Bapak tentu tahu siapa almarhum Haji Tamim…!”
Romli tidak mengada-ada. Haji Ali Tamim adalah kakek buyut Romli yang begitu monumental membuat kampung itu terkenal menjadi kampung Tamim. Kakek buyut Romli itu yang membawa bibit rambutan ke kampung ini. Almarhum juga yang bersusah payah mengajari orang sekampung untuk menanami tanah berbukit-bukit itu dengan rambutan dan nangka. Ternyata rambutan itu amat manis dan kemudian dikenal sebagai rambutan Tamim.
“Almarhum kakek buyut saya bekerja keras dan berkorban sangat banyak untuk membangun kampung ini. Ia disegani dan dihormati sampai ke kampung lain. Sampai-sampai kampung ini dinamai kampung Tamim.”
“Ah, itu lagi yang Bapak persoalkan,” tukas Pak Anton. Tenang dan sangat professional. Ia tahu betul bagaimana harus menahan diri menghadapi orang-orang seperti Romli ini. “Dulu proyek ini bernama Moonlight Garden. Ada kata ‘mun’-nya. Sebab saya tahu anak gadismu yang cantik itu namanya Mumun. Tapi kamu protes juga. Sekarang ganti menjadi Taman Indah Purnama.”
“Purnama itu nama anak Bapak. Saya tahu itu! Begitu gampangnya Bapak menggusur nama almarhum kakek saya dan menggantinya dengan nama anak Bapak, padahal nama Tamim itu menyimpan sejarah. Kakek saya menciptakan sejarah bukan dengan duit. Sekarang enak saja menggantinya, mentang-mentang Bapak punya duit…!”
“Ah, Pak Romli terlalu curiga,” Pak Tomi menengahi, mencoba meredakan emosi Pak Romli. “Coba perhatikan nama baru proyek ini. Taman Indah Purnama. Kalau disingkat mirip TAMIM, kan?”
Pak Anton cengar-cengir mendengar akal bulus anak buahnya itu. Kalau dimirip-miripkan, yang memang mirip. Tapi Pak Romli sendiri justru merasa makin tersinggung. Merasa dianggap bodoh. Amat bodoh!
Romli tetap tidak mau menerima. Jadi tidak ada kesepakatan. Pak Anton bilang tak mungkin menjual real estat dengan nama Tamim. Tidak popular. Tidak komersial. Tidak akan laku dijual.

***
Romli mengembuskan asap rokoknya keras-keras. Ingin ia empaskan ke luar semua beban dari dalam dadanya. Suara tokek serak melemah dari sisa pohon rambutan, merana seperti kehabisan baterai. Seakan bosan dengan tugasnya memberi pilihan bagi Romli yang bingung. Ya, Romli tahu orang sekampung menudingnya bodoh dan keras kepala, pingin benar sendiri. Anak-istrinya pun berpendapat begitu. Romli tak mau peduli. Persetan.
Saudara-saudara sekandung Romli sudah lama merantau meninggalkan kampung ini. Ke Kalimantan, Sumatra, hingga ke Arab Saudi. Tinggal Romli yang masih bertahan. Jika kelak mereka pulang, mereka berkata apa jika mendapati nama Haji Ali Tamim sudah sirna berganti nama dengan Purnama, nama pemilik usaha real estat ini?
Malam semakin larut. Romli kian tenggelam dalam kesendiriannya. Pohon-pohon kecapi, rambutan, dan nangka yang baru belajar berbuah itu pun terdiam sendu. Angin malam tak tega mengusiknya, membuat keheningan makin pekat.
Rumah ini semakin tinggi. Ooo, bukan. Bukan rumah tua peninggalan leluhur Romli ini yang semakin tinggi, melainkan tanah kebun di sekitarnya yang semakin rendah. Pernah Romli mengukur, ada tujuh meter tingginya perbedaan tanah ini dengan tanah si Marta di sebelah. Minggu lalu, di kebun sebelah masih ada pohon jamblang yang, jika terang bulan, dahan dan daunnya membentuk siluet orang tua berjenggot. Sampai-sampai si Marta sekeluarga mengeramatkan pohon itu. Tapi sekarang pohon jamblang itu sudah lenyap, kalah dengan traktor.
Setiap hari deru mesin traktor menggaruk-garukkan keperkasaannya di tanah sekeliling. Puluhan traktor dan ratusan truk pengangkut tanah menyulap dan meratakan tanah berbukit-bukit itu, menjual tanah-tanah merah itu menjadi tanah urukan entah ke mana. Debu tanah merah mengepul ke mana-mana. Pohon-pohon nangka dan rambutan tercerabut ditraktor hingga akar-akarnya.
Lenyap sudah kenyamanan dan kedamaian kampung ini. Dedaunan pohon yang masih bersisa pun tak lagi hijau, sudah tertutup oleh debu tanah. Para tetangga sudah minggat setelah menerima uang penjualan tanah, lalu cari rumah kredit BTN di sana-sini. Kerukunan yang sejak dulu terpelihara sudah tercerai-berai kini. Tinggal empat-lima rumah saja yang masih bertahan di kampung Tamim ini. Itu pun letaknya berjauhan dan hanya menunggu giliran digusur. Uang pembebasan tanah sudah mereka terima.
Begitu tingginya letak rumah Romli sekarang sehingga tampak bagai perahu Nabi Nuh nyangsang di atas bukit. Untuk naik ke sana harus bersusah payah melewati tangga bambu yang disandarkan ke tebing. Atau lewat undak-undakan tanah yang dipapas menyerupai tangga.
Dahulu kampung ini tak pernah sepi. Setidak-tidaknya lebih ramai dari kampung-kampung sebelah. Tetangga yang berangkat dan pulang mengaji saling menyapa dengan ramah. Pekik riuh anak-anak main sepak bola di sela pepohonan rambutan selalu meningkahi hari-hari senja menjelang magrib.
Sekarang semua lenyap, diganti dengan deru traktor dan truk. Kampung lain pun sudah lebih dulu rata dengan tanah. Rumah Romli kini terisolir bersama sepetak kebunnya. Beberapa tetangga jauh yang masih tersisa, kalaupun sesekali lewat, harus berteriak keras menyampaikan salam Assalamu­­-alaikum agar suaranya terdengar ke rumah Romli di “puncak bukit”.
Romli menyalakan lagi rokoknya yang kesekian. Jauh di langit ada bulan nyaris purnama, membuat hatinya makin gundah. Bulan itu mengingatkannya kembali kepada nama yang paling ia benci: Purnama, nama real estat yang sedang menjarah kampung Tamim ini. Bagi Romli, bulan purnama hanya akan menciptakan bayang-bayang yang menakutkan. Sebab di bawah sana, fondasi dan kerangka bangunan baru tampak bagai monster yang dengan rakusnya akan melahap seluruh areal ini.
Satu atau dua bulan lagi, tempat ini akan berubah semuanya. Rumah-rumah mewah yang gagah akan berdiri dengan congkaknya. Kampung Tamim akan lenyap bersama kampung Bojong dan kampung Tipar yang sudah lebih dulu digusur. Rumah-rumah warisan dari abad silam akan benar-benar lenyap bersama kebun nangka dan rambutan. Tak akan ada lagi nangka dan rambutan Tamim yang terkenal itu. Bahkan kuburan para leluhur yang sejak dulu nyaman berteduh di bawah kerindangan itu pun akan digusur, pindah ke TPU.
Seperti benua Atlantis yang lenyap ditelan alam, kampung Tamim pun akan sirna ditelan pemukiman baru. Beberapa tahun lalu mereka memasang papan nama Moonlight Garden. Lalu diganti dengan bahasa Indonesia, real estat Taman Indah Purnama.
Lamunan Romli terusik suara kaki yang melangkah mendekat dari belakang. Ia tahu itu istrinya. Ipah.
“Kenapa belum tidur?” sapa Romli tanpa menoleh.
“Gerah, Bang. Abang juga tidur saja, deh. Besok Abang bisa pikir-pikir lagi,” kata Ipah.
“Mumun?”
“Sudah sedari tadi tidur.”
“Usman sudah pulang?”
“Belum. Ngkali nonton teve di rumah Bang Haji Pi’i. Anak itu nggak usah dipikirin, Bang. Anak laki ini.”
“Bininya?”
“Tidur”
Usman satu-satunya anak lelaki Romli. Belum dua puluh tahun umurnya dan masih menganggur, sudah minta dikawinkan dengan Salmah. Ingat menantunya itu, Romli menghela napas panjang. Kasihan Salmah yang lagi hamil empat bulan itu. Sudah sebulan ini tidak bisa ke mana-mana karena tidak berani turun-naik lewat tangga bambu di dinding “tebing” itu. Ditambah lagi kelakuan Usman yang masih kayak anak kecil. Asyik keluyuran dengan teman-temannya. Istrinya sendiri tidak diurus.
Tahun lalu panen rambutan dipakai untuk beli kulkas, VCD, dan TV yang kini nongkrong di atas bufet. Tapi Usman tetap saja lebih suka menonton teve di rumah Haji Pi’I karena antenanya parabola. Tadi siang pertengkaran kecil terulang lagi di rumah ini. Soalnya itu-itu lagi. Sepeda motor.
“Abang juga sih, tidak mau mengerti kebutuhan anak-anak,” kata Ipah duduk di samping Romli.
“Saya cari uang dari mana, Ipah?” Romli mengeluh. “Harga motor bebek model Mandra di teve itu bukan seratus ribu. Tapi berjuta-juta, Pah.”
“Kalau mau,  sih, Abang bisa.”
Romli diam. Ia tahu ke mana maksud Ipah. Jual tanah.
“Kasihan Mumun,  tuh. Ia sudah mahir naik sepeda motor. Belajar dari teman-temannya.”
“Ya, tapi saya ini ‘kan Cuma tukang lemari. Untuk makan sehar-hari saja susah.”
“Abang, sih, nggak mau…!” Ipah tidak meneruskan, takut Romli marah lagi.
“Yah, memang tidak mau. Tidak akan. Arwah almarhum kakek Haji Ali Tamim dan seluruh moyang kita tidak akan tenang jika namanya sampai lenyap dari kampung ini. Ipah tahu bagaimana ceritanya kampung ini menjadi kampung Tamim? Almarhum yang membangun masyarakat kampung ini. Mendirikan pengajian. Musala. Sebagian hartanya dipakai untuk menolong orang. Untuk amal. Sekarang enak saja mau diganti. Puih!” tukas Romli membelalakkan matanya dan meludah keras-keras. “Tidak bisa. Kampung Tamim tetap kampung Tamim. Tak akan jadi Purnama atau apa pun!”
“Iya, sih, Bang. Tapi … kalau semua orang sudah kalah, sampai kapan harus bertahan?” bisik Ipah memelas.
Romli tak menjawab. Itulah yang ia pikirkan sejak tadi sore. Sampai kapan harus bertahan. Sampai kapan.

***

Pagi-pagi sekali seluruh bangunan proyek geger. Ada tangan jahil merubuhkan papan nama proyek Taman Indah Purnama di muka kantor proyek itu. Bahkan papan nama di sudut perempatan jalan lebih parah lagi. Papan megah berukuran empat kali lima meter itu hancur tak berbentuk lagi. Penuh bekas hantaman kapak. Di sampingnya tertancap papan sederhana bertuliskan:
Kampung ini tetap kampung Tamim. Ttd. Haji Ali Tamim (Alm).
Menjelang siang, Romli dijemput polisi. Tangannya diborgol. Ipah menangis menjerit-jerit.*


(Sumber: Kalung dari Gunung, Kumpulan Cerpen Pengarang-Pengarang Aksara, Bestari)


Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Siapa tokoh utama dalam cerpen di atas?
2. Sudut pandang yang manakah yang dipakai oleh pengarang dalam cerpen tersebut?
3. Sebutkan tokoh-tokoh dan karakter masing-masing yang terdapat dalam cerpen tersebut!
4. Bagaimana struktur teks cerpen di atas?
5. Tunjukan bagian klimaks dari cerpen tersebut!
6. Dengan cara bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokohnya? Tunjukkan!
7. Konflik apa yang dialami tokoh utama dalam cerpen tersebut?

Pahami cerpen tersebut dan ikuti kuis mengenai cerpen ini untuk mengukur pemahaman Anda!

0 komentar:

Posting Komentar