KAMPUNG TAMIM
Cerpen
Saut Poltak Tambunan
Sebotol
Coca cola dingin di atas meja, tidak disentuh Romli sama sekali. Ruangan yang
harum full AC itu terasa makin gerah.
Seramah apa pun Pak Anton yang gagah berdasi ini, tetap saja Romli curiga. Ia
tetap merasa orang-orang ini datang jauh-jauh dari kota untuk menjajah kampung.
“Saya
tidak akan menjual tanah ini. Ini warisan leluhurku dan akan aku wariskan ke
anak-cucuku,” tegas Romli bergumam untuk kesekian kalinya.
“Tapi
anak-anakmu sendiri ingin tanah ini dijual saja. Istrimu juga setuju,” tukas
Pak Tomi, anak buah kepercayaan Pak Anton, ikut menimpali.
Romli
terbungkam. Pak Tomi benar. Ipah, istrinya, serta kedua anaknya. Mumun dan
Usman, sudah kebelet betul. Jual saja tanah ini, ambil kreditan rumah BTN di
Cikarang dan belikan sepeda motor. Sepeda motor “balap” untuk Usman. Sepeda
motor “bebek” untuk Mumun, seperti punya Mandra yang muncul di iklan televisi
itu. Dengan sepeda motor itu, Mumun janji akan lebih rajin mengaji dan Usman
akan mengojek cari uang.
Tapi bagi
Romli masalahnya tidak sesederhana itu. Sudah turun-temurun ia menempati tanah
warisan ini. Turun-temurun pula ia setia menekuni pekerjaannya sebagai tukang
lemari. Beli kayu mentah di Klender, menukanginya jadi lemari sederhana yang juga
mentah tanpa polesan politer, lalu menjualnya kembali ke penampungan di
Klender.
Kalau
harus pindah dari sini, aku bisa apa? Ikut-ikutan jadi tukang ojek seperti
kebanyakan orang kampung ini? Seperti cita-cita si Usman itu? Kata Mumun, Bapak
nanti bisa kerja bikin lemari untuk orang-orang di komplek BTN. Ah, enak saja ngomong. Tidak segampang itu, Mun,
bantah Romli dalam hati.
“Saya
mengerti keadaanmu, Pak Romli,” kata Pak Anton kemudian, “dan itu sebabnya saya
bersedia memberikan penggantian lebih besar dari yang diterima tetanggamu,
tapi… Pak Romli harus berjanji tidak bilang-bilang kepada mereka.”
Romli
tidak bereaksi.
“Kemudian,
biaya pemindahan kuburan orangtuamu yang ada di kebun itu, saya juga yang
tanggung. Nah, apa lagi yang kurang?”
Romli
masih diam.
“Kasihan
anak-istrimu itu, Pak Romli,” Pak Tomi nimbrung
lagi menambahkan, “mereka tidak mungkin tinggal terus-menerus di situ. Bapak
harus menerima kenyataan. Sebagai manusia mereka juga berhak untuk hidup lebih
baik. Apalagi anak mantumu sedang hamil, kan?”
“Itu
urusan saya,” sahut Romli bergumam. Ia tak suka para penjarah ini bersekongkol
dengan kesulitan yang dihadapinya.
“Itu
benar. Kami hanya sekedar ingin membantu.”
Lagi-lagi
Romli terdiam. Ia tidak mudah dibodoh-bodohi. Ia pernah bersekolah di SD
kendati tak sampai tamat. Ia bahkan masih ingat kata Pak Guru bahwa pada
mulanya bangsa Belanda datang ke Indonesia dengan dalih membantu. Tahu-tahu
menjajah. Dan ini, di hadapannya kini berdiri “belanda-belanda” baru.
“Begini,
Pak,” tukas Romli kemudian menegakkan kepalanya, “kalian itu merampok
segala-galanya dari kampung Tamim. Ketenteraman, pencaharian, kerukunan, bahkan
persaudaraan kami. Sekarang saya terkucil. Bahkan kalian keruk tanah di sekitar
rumah saya sehingga rumah saya jadi nyangsang
di atas bukit. Sanak saudara menertawakan saya. Bahkan anak-bini saya pun
dihasut memusuhi saya.”
“Maafkan,
Pak Romli,” sergah Pak Anton, “sebaiknya tidak bicara begitu. Demi Tuhan, tak
ada niat kami untuk menyusahkan Bapak.”
“Yah,
memang. Tapi berniat atau tidak, akibatnya sama saja bagi saya. Tetap saja saya
yang susah.”
“Susahnya
Pak Romli itu dibikin sendiri,” tambah Pak Tomo. “Rumah Bapak itu sudah tua.
Lantainya tanah. Atapnya bocor di sana sini. Padahal kalau mau, Pak Romli bisa
tinggal di rumah BTN yang lantainya kinclong.
Pakai keramik.”
“Jelek-jelek,
itu rumah warisan. Dan, mau bocor mau nggak.
Itu urusan saya,” sela Romli, lagi-lagi merasa jengah tawaran yang menggiurkan
itu disandingkan dengan kemiskinannya. “Aku tidak mau sejarah saya digusur
begitu saja. Bapak tentu tahu siapa almarhum Haji Tamim…!”
Romli
tidak mengada-ada. Haji Ali Tamim adalah kakek buyut Romli yang begitu
monumental membuat kampung itu terkenal menjadi kampung Tamim. Kakek buyut
Romli itu yang membawa bibit rambutan ke kampung ini. Almarhum juga yang
bersusah payah mengajari orang sekampung untuk menanami tanah berbukit-bukit
itu dengan rambutan dan nangka. Ternyata rambutan itu amat manis dan kemudian
dikenal sebagai rambutan Tamim.
“Almarhum
kakek buyut saya bekerja keras dan berkorban sangat banyak untuk membangun
kampung ini. Ia disegani dan dihormati sampai ke kampung lain. Sampai-sampai
kampung ini dinamai kampung Tamim.”
“Ah, itu
lagi yang Bapak persoalkan,” tukas Pak Anton. Tenang dan sangat professional.
Ia tahu betul bagaimana harus menahan diri menghadapi orang-orang seperti Romli
ini. “Dulu proyek ini bernama Moonlight Garden. Ada kata ‘mun’-nya. Sebab saya
tahu anak gadismu yang cantik itu namanya Mumun. Tapi kamu protes juga.
Sekarang ganti menjadi Taman Indah Purnama.”
“Purnama
itu nama anak Bapak. Saya tahu itu! Begitu gampangnya Bapak menggusur nama
almarhum kakek saya dan menggantinya dengan nama anak Bapak, padahal nama Tamim
itu menyimpan sejarah. Kakek saya menciptakan sejarah bukan dengan duit.
Sekarang enak saja menggantinya, mentang-mentang Bapak punya duit…!”
“Ah, Pak
Romli terlalu curiga,” Pak Tomi menengahi, mencoba meredakan emosi Pak Romli.
“Coba perhatikan nama baru proyek ini. Taman Indah Purnama. Kalau disingkat
mirip TAMIM, kan?”
Pak Anton
cengar-cengir mendengar akal bulus anak buahnya itu. Kalau dimirip-miripkan,
yang memang mirip. Tapi Pak Romli sendiri justru merasa makin tersinggung.
Merasa dianggap bodoh. Amat bodoh!
Romli
tetap tidak mau menerima. Jadi tidak ada kesepakatan. Pak Anton bilang tak
mungkin menjual real estat dengan nama Tamim. Tidak popular. Tidak komersial.
Tidak akan laku dijual.
***
Romli
mengembuskan asap rokoknya keras-keras. Ingin ia empaskan ke luar semua beban
dari dalam dadanya. Suara tokek serak melemah dari sisa pohon rambutan, merana
seperti kehabisan baterai. Seakan bosan dengan tugasnya memberi pilihan bagi
Romli yang bingung. Ya, Romli tahu orang sekampung menudingnya bodoh dan keras
kepala, pingin benar sendiri.
Anak-istrinya pun berpendapat begitu. Romli tak mau peduli. Persetan.
Saudara-saudara
sekandung Romli sudah lama merantau meninggalkan kampung ini. Ke Kalimantan,
Sumatra, hingga ke Arab Saudi. Tinggal Romli yang masih bertahan. Jika kelak
mereka pulang, mereka berkata apa jika mendapati nama Haji Ali Tamim sudah
sirna berganti nama dengan Purnama, nama pemilik usaha real estat ini?
Malam
semakin larut. Romli kian tenggelam dalam kesendiriannya. Pohon-pohon kecapi,
rambutan, dan nangka yang baru belajar berbuah itu pun terdiam sendu. Angin
malam tak tega mengusiknya, membuat keheningan makin pekat.
Rumah ini
semakin tinggi. Ooo, bukan. Bukan rumah tua peninggalan leluhur Romli ini yang
semakin tinggi, melainkan tanah kebun di sekitarnya yang semakin rendah. Pernah
Romli mengukur, ada tujuh meter tingginya perbedaan tanah ini dengan tanah si
Marta di sebelah. Minggu lalu, di kebun sebelah masih ada pohon jamblang yang,
jika terang bulan, dahan dan daunnya membentuk siluet orang tua berjenggot.
Sampai-sampai si Marta sekeluarga mengeramatkan pohon itu. Tapi sekarang pohon
jamblang itu sudah lenyap, kalah dengan traktor.
Setiap
hari deru mesin traktor menggaruk-garukkan keperkasaannya di tanah sekeliling.
Puluhan traktor dan ratusan truk pengangkut tanah menyulap dan meratakan tanah
berbukit-bukit itu, menjual tanah-tanah merah itu menjadi tanah urukan entah ke
mana. Debu tanah merah mengepul ke mana-mana. Pohon-pohon nangka dan rambutan
tercerabut ditraktor hingga akar-akarnya.
Lenyap
sudah kenyamanan dan kedamaian kampung ini. Dedaunan pohon yang masih bersisa
pun tak lagi hijau, sudah tertutup oleh debu tanah. Para tetangga sudah minggat
setelah menerima uang penjualan tanah, lalu cari rumah kredit BTN di sana-sini.
Kerukunan yang sejak dulu terpelihara sudah tercerai-berai kini. Tinggal
empat-lima rumah saja yang masih bertahan di kampung Tamim ini. Itu pun
letaknya berjauhan dan hanya menunggu giliran digusur. Uang pembebasan tanah
sudah mereka terima.
Begitu
tingginya letak rumah Romli sekarang sehingga tampak bagai perahu Nabi Nuh nyangsang di atas bukit. Untuk naik ke
sana harus bersusah payah melewati tangga bambu yang disandarkan ke tebing.
Atau lewat undak-undakan tanah yang dipapas menyerupai tangga.
Dahulu
kampung ini tak pernah sepi. Setidak-tidaknya lebih ramai dari kampung-kampung
sebelah. Tetangga yang berangkat dan pulang mengaji saling menyapa dengan
ramah. Pekik riuh anak-anak main sepak bola di sela pepohonan rambutan selalu
meningkahi hari-hari senja menjelang magrib.
Sekarang
semua lenyap, diganti dengan deru traktor dan truk. Kampung lain pun sudah
lebih dulu rata dengan tanah. Rumah Romli kini terisolir bersama sepetak
kebunnya. Beberapa tetangga jauh yang masih tersisa, kalaupun sesekali lewat,
harus berteriak keras menyampaikan salam Assalamu-alaikum
agar suaranya terdengar ke rumah Romli di “puncak bukit”.
Romli
menyalakan lagi rokoknya yang kesekian. Jauh di langit ada bulan nyaris
purnama, membuat hatinya makin gundah. Bulan itu mengingatkannya kembali kepada
nama yang paling ia benci: Purnama, nama real estat yang sedang menjarah kampung
Tamim ini. Bagi Romli, bulan purnama hanya akan menciptakan bayang-bayang yang
menakutkan. Sebab di bawah sana, fondasi dan kerangka bangunan baru tampak
bagai monster yang dengan rakusnya akan melahap seluruh areal ini.
Satu atau
dua bulan lagi, tempat ini akan berubah semuanya. Rumah-rumah mewah yang gagah
akan berdiri dengan congkaknya. Kampung Tamim akan lenyap bersama kampung
Bojong dan kampung Tipar yang sudah lebih dulu digusur. Rumah-rumah warisan
dari abad silam akan benar-benar lenyap bersama kebun nangka dan rambutan. Tak
akan ada lagi nangka dan rambutan Tamim yang terkenal itu. Bahkan kuburan para
leluhur yang sejak dulu nyaman berteduh di bawah kerindangan itu pun akan
digusur, pindah ke TPU.
Seperti
benua Atlantis yang lenyap ditelan alam, kampung Tamim pun akan sirna ditelan
pemukiman baru. Beberapa tahun lalu mereka memasang papan nama Moonlight
Garden. Lalu diganti dengan bahasa Indonesia, real estat Taman Indah Purnama.
Lamunan
Romli terusik suara kaki yang melangkah mendekat dari belakang. Ia tahu itu
istrinya. Ipah.
“Kenapa
belum tidur?” sapa Romli tanpa menoleh.
“Gerah,
Bang. Abang juga tidur saja, deh.
Besok Abang bisa pikir-pikir lagi,” kata Ipah.
“Mumun?”
“Sudah
sedari tadi tidur.”
“Usman
sudah pulang?”
“Belum. Ngkali nonton teve di rumah Bang Haji
Pi’i. Anak itu nggak usah dipikirin, Bang. Anak laki ini.”
“Bininya?”
“Tidur”
Usman
satu-satunya anak lelaki Romli. Belum dua puluh tahun umurnya dan masih
menganggur, sudah minta dikawinkan dengan Salmah. Ingat menantunya itu, Romli menghela
napas panjang. Kasihan Salmah yang lagi hamil empat bulan itu. Sudah sebulan
ini tidak bisa ke mana-mana karena tidak berani turun-naik lewat tangga bambu
di dinding “tebing” itu. Ditambah lagi kelakuan Usman yang masih kayak anak kecil. Asyik keluyuran dengan
teman-temannya. Istrinya sendiri tidak diurus.
Tahun
lalu panen rambutan dipakai untuk beli kulkas, VCD, dan TV yang kini nongkrong
di atas bufet. Tapi Usman tetap saja lebih suka menonton teve di rumah Haji
Pi’I karena antenanya parabola. Tadi siang pertengkaran kecil terulang lagi di
rumah ini. Soalnya itu-itu lagi. Sepeda motor.
“Abang
juga sih, tidak mau mengerti
kebutuhan anak-anak,” kata Ipah duduk di samping Romli.
“Saya
cari uang dari mana, Ipah?” Romli mengeluh. “Harga motor bebek model Mandra di
teve itu bukan seratus ribu. Tapi berjuta-juta, Pah.”
“Kalau
mau, sih, Abang bisa.”
Romli
diam. Ia tahu ke mana maksud Ipah. Jual tanah.
“Kasihan
Mumun, tuh. Ia sudah mahir naik sepeda motor. Belajar dari
teman-temannya.”
“Ya, tapi
saya ini ‘kan Cuma tukang lemari. Untuk makan sehar-hari saja susah.”
“Abang, sih, nggak mau…!” Ipah tidak meneruskan,
takut Romli marah lagi.
“Yah,
memang tidak mau. Tidak akan. Arwah almarhum kakek Haji Ali Tamim dan seluruh
moyang kita tidak akan tenang jika namanya sampai lenyap dari kampung ini. Ipah
tahu bagaimana ceritanya kampung ini menjadi kampung Tamim? Almarhum yang
membangun masyarakat kampung ini. Mendirikan pengajian. Musala. Sebagian
hartanya dipakai untuk menolong orang. Untuk amal. Sekarang enak saja mau
diganti. Puih!” tukas Romli membelalakkan matanya dan meludah keras-keras.
“Tidak bisa. Kampung Tamim tetap kampung Tamim. Tak akan jadi Purnama atau apa
pun!”
“Iya, sih, Bang. Tapi … kalau semua orang
sudah kalah, sampai kapan harus bertahan?” bisik Ipah memelas.
Romli tak
menjawab. Itulah yang ia pikirkan sejak tadi sore. Sampai kapan harus bertahan.
Sampai kapan.
***
Pagi-pagi
sekali seluruh bangunan proyek geger.
Ada tangan jahil merubuhkan papan nama proyek Taman Indah Purnama di muka
kantor proyek itu. Bahkan papan nama di sudut perempatan jalan lebih parah
lagi. Papan megah berukuran empat kali lima meter itu hancur tak berbentuk
lagi. Penuh bekas hantaman kapak. Di sampingnya tertancap papan sederhana
bertuliskan:
Kampung ini tetap kampung Tamim. Ttd. Haji Ali Tamim
(Alm).
Menjelang
siang, Romli dijemput polisi. Tangannya diborgol. Ipah menangis
menjerit-jerit.*
(Sumber: Kalung dari Gunung, Kumpulan Cerpen Pengarang-Pengarang Aksara, Bestari)
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1. Siapa tokoh utama dalam cerpen di atas?
2. Sudut pandang yang manakah yang dipakai oleh pengarang dalam cerpen tersebut?
3. Sebutkan tokoh-tokoh dan karakter masing-masing yang terdapat dalam cerpen tersebut!
4. Bagaimana struktur teks cerpen di atas?
5. Tunjukan bagian klimaks dari cerpen tersebut!
6. Dengan cara bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokohnya? Tunjukkan!
7. Konflik apa yang dialami tokoh utama dalam cerpen tersebut?
Pahami cerpen tersebut dan ikuti kuis mengenai cerpen ini untuk mengukur pemahaman Anda!
0 komentar:
Posting Komentar