Minggu, 17 Januari 2021

Rabu, 21 Oktober 2020

Minggu, 18 Oktober 2020

Robohnya Surau Kami (Cerpen A.A. Navis)

 

ROBOHNYA SURAU KAMI

Cerpen : A.A. Navis

 

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang ke lima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku Tanya Kakek: “Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan Bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku Tanya Kakek lagi: “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama akau menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku Tanya lagi Kakek: “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku.”Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaannku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari mudaku aku di sini, buka? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayangkepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku menerima karunia-Nya. ‘Astagafirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masya-Allah’, kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku: “Ia katakana Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa  cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.

“’Pada suatu waktu,’ kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surge. Kedua tangannya ditopangnya di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak Tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ Tanya Tuhan

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kuceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenap ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.’ Kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil.’ Kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung pada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan tuhan bertanya. ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesaat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, mka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surge sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ Tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak orang lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu?’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi kami soal harta benda itu kami yak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena ibadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.’

Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?’ Tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’”

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku Tanya dia.   

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya. Dia pergi kerja." 


oooOOooo


 

 

 

Minggu, 02 Agustus 2020

PIDATO PERSUASIF KELAS IX


MENYAMPAIKAN PIDATO PERSUASIF

Pidato persuasif merupakan seni mengungkapkan pendapat secara jelas dan logis dengan tujuan untuk meyakinkan audiens untuk melakukan sesuatu atau mengubah pikiran orang tentang persoalan penting, serta mengajak orang peduli.

Pidato persuasif merupakan bagian dari eksposisi. Seperti telah kita ketahui eksposisi digunakan untuk meyakinkan pembaca atau pendengar dengan menyajikan argumen dari satu sudut pandang dan membuktikan kebenarannya dengan tujuan untuk meyakinkan pembaca atau pendengar untuk memahami persoalan dari sudut pandang yang kita sampaikan.

Ada tiga tipe berbeda eksposisi.
1.      Eksposisi yang dapat mengubah sikap orang atau mengubah pandangan orang tentang suatu hal.  
Tulisan yang pesuasif (meyakinkan) ini dapat kita temui pada editorial surat kabar, pidato politik atau kampanye, media cetak, media visual, media lisan, teks informasi dalam buku, surat kepada editor, mempertahankan hak/hukum, pidato, ceramah, khotbah, dan sebagainya. Harapannya sejalan peserta didik mengembangkan keterampilannya peserta didik akan lebih sadar bahwa fakta dapat ditafsirkan dalam cara berbeda dan bahwa beragam pendapat suatu persoalan mungkin saja valid. Bersikap terbuka terhadap berbagai pendapat sekaligus menguji berbagai pendapat dengan pikiran kritis menjadi penting.
2.      Eksposisi yang dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan dan menjual barang, jasa, dan aktivitas.
Bahasa persuasif iklan dan poster meyakinkan orang untuk melakukan atau meyakini sesuatu. Media iklan pada umumnya menarik perhatian dengan slogan yang memikat. Ini menarik orang masuk dan membuat mereka mengidentifikasi diri dengan pesan dan citra yang ditayangkan. Saat yang sma teks jenis lain teradopsi, seperti prosedur, eksplanasi, dan deskripsi. Untuk meyakinkan orang penggunaan berbagai teks dimungkinkan, misalnya dalam mengomunikasikan sepuluh langkah memiliki tubuh indah.
3.      Eksposisi yang dapat digunakan untuk membela suatu kasus, sebagai contoh tulisan “Selamatkan Terumbu Karang, Sekarang”.
Eksposisi persuasif berbeda dari diskusi yang mengeksplorasi semua sisi persoalan dan sampai kepada simpulan berdasarkan bukti yang tersedia. Ekposisi persuasif memiliki satu sudut pandang yang didukung oleh argumen logis dan bukti. Penulis memilih informasi yang mendukung dan menghilangkan informasi yang tidak mendudkung. Keterampilan meneliti yang kuat dan membuat catatan yang akurat diperlukan untuk menulis ekposisi persuasif jika persoalan berkaitan dengan area yang kurang dipahami peserta didik. Survey dan wawancara tentang persoalan (isu) dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi di samping bahan-bahan yang didapat dari surat kabar, berita, radio membentuk sumber tak ternilai. Peserta didik perlu memeriksa validitas sumber informasi mereka dan membuat daftar kepustakaan.

Ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk memersuasi atau mempengaruhi pembaca atau pendengar agar mengikuti sudut pandang kita.
1.      Berdasarkan etika;
2.      Berdasarkan emosi;
3.      Berdasarkan logika.

Berikut ketiga contoh cara memersuasi berdasarkan ketiga cara di atas.
Berdasarkan Etika
“Daur ulang adalah hal benar yang kita lakukan. Memubazirkan sumber daya kita yang terbatas sama dengan mencuri hak anak cucu kita di masa depan, ini tidak bermoral.”

Berdasarkan Emosi
“Coba pikirkan jutaan hewan yang kehilangan rumahnya setiap hari akibat pohon yang ditebang. Jika daur ulang berkelanjutan, kita dapat menyelamatkan banyak hutan yang indah.”

Berdasarkan Logika
“Kita paham bahwa cadangan sumberdaya alami kita terbatas. Kita dapat memperpanjang cadangan kita dengan daur ulang.”


STRUKTUR ISI PIDATO PERSUASIF

Teks eksposisi umumnya dimulai dengan suatu pendahuluan pernyataan posisi yang memberikan pendapat atau sudut pandang pengarang. Bagian berikutnya memiliki serangkaian argumen logis yang meyakinkan audiens mengapa posisi itu diambil. Simpulan memperkuat atau menyimpulkan pandangan pengarang.

1.      Pernyataan Posisi
Penyataan posisi merupakan pendapat atau pendirian yang diambil penulis terhadap suatu persoalan. Dalam ekposisi tulis, sebaiknya melihat persoalan aktual dari masyarakat dan dilanjutkan menulis sesuatu untuk mengekspresikan dukungan atau kepedulian terhadap persoalan masyarakat.

Pernyataan yang dapat diajukan untuk menguji pernyataan posisi adalah sebagai berikut.
·         Siapa yang akan diyakinkan?
·         Apa yang akan diyakinkan (mengubah pandangan atau perilaku)?
·         Jenis argumen apa yang menarik perhatian mereka?
·         Apakah pernyataan sudah menyatakan posisi secara jelas?

2.      Tahap Argumen
Sejumlah pokok pikiran umumnya dibuat dalam tahap argumen. Jumlah argumen bersifat luwes dan beragam dalam setiap eksposisi. Argumen perlu dikembangkan dan didukung secara logis, dibuktikan dengan alasan, contoh-contoh, bukti pakar, dan informasi statistik. Seringnya setiap argumen dimulai dengan informasi latar belakang, diikuti oleh pokok pikiran ayang berkaitan dengan pernyataan posisi dan membuktikan memperluas pernyataan. Untuk beragumen selektif mungkin harus disertakan fakta pendukung, contoh, tabel, gambar, dan kutipan agar lebih meyakinkan. Istilah yang kurang jelas maknanya sebaiknya dihindari penggunaannya.

Urutan argumen tergantung penulis. Dapat dimulai dari argumen yang paling kuat atau mulai dari yang lemah dan terus membangun argumen hingga ke yang paling kuat. Lebih baik jika semua argumen kuat dalam mendukung sudut pandang penulis.

Setiap pengembangan pikiran atau argumen berisi sejumlah kalimat. Setiap paragraf harus disusun secara cermat dengan kalimat topik pada setiap paragraf berkaitan dengan gagasan utama paragraf sebelumnya. Hampir semua paragraf memiliki satu gagasan utama yang dikembangkan dan membentuk bagian dari teks ekposisi keseluruhan.

3.      Penguatan Pernyataan Posisi
Di bagian ini letak argumen ditonjolkan. Simpulan posisi berdasarkan argumen yang telah disajikan memperkuat pernyataan posisi dan sering berupa tipe tindakan yang ditujukan untuk audiens. Dalam upaya meyakinkan audiens ketika presentasi lisan, perlu fokus memperkuat pernyataan posisi dan menekankan pikiran utama dengan penggunaan intonasi, nada, tinggi-rendah, mimik, bahasa tubuh, dan gestur. Argumen sebaiknya secara logis dikembangkan dan didukung oleh bukti-bukti. Tidak bisa hanya sekadar berdasarkan emosi dan intuisi. Audiens dapat berfokus pada bukti yang telah disajikan dan menilai akurasinya. Tabel dan diagram dapat digunakan dengan dampak hebat dalam eksposisi baik lisan maupun tulis.


CIRI KEBAHASAAN TEKS EKSPOSISI

Kebahasaan yang dapat dikembangkan dalam teks eksposisi adalah tentang nominalisasi (pembendaan), kata ganti orang, bentuk pasif, kosa kata (teknis, pasangan kata, kata benda abstrak, kata emotif), kata tugas, modalitas, kalimat langsung, dan kalimat tidak langsung.


Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas 9, 2018


Kamis, 11 Juni 2020

Rabu, 10 Juni 2020

Selasa, 09 Juni 2020

Minggu, 07 Juni 2020

Jumat, 05 Juni 2020

Kamis, 04 Juni 2020