Minggu, 17 Januari 2021
Rabu, 21 Oktober 2020
Minggu, 18 Oktober 2020
Robohnya Surau Kami (Cerpen A.A. Navis)
ROBOHNYA SURAU KAMI
Cerpen : A.A. Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang
kecil ke kanan, simpang ke lima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung
jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan,
yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan
Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak
mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat.
Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya.
Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah
pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta
tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga
anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang
disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti
papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di
dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah
sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak
dijaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini
ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah
kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah
kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya
uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan
lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua
berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja
dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk
di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku Tanya Kakek: “Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo
Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia
lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan
bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia
begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya
ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di
sekitar kampungku yang cocok dengan dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.
Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada
pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka
untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek
dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang
Kakek? Dan Bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku Tanya
Kakek lagi: “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang
kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi
aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi.
Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu
lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama
akau menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi
yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku Tanya lagi Kakek: “Bagaimana katanya,
Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya
bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang
bertanya padaku.”Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini.
Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaannku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi.
Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku
biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari mudaku aku di sini, buka? Tak
kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu?
Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat
seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku
kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayangkepada umat-Nya yang
tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu.
Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku menerima
karunia-Nya. ‘Astagafirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masya-Allah’, kataku
bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku
menyelakan tanyaku: “Ia katakana Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi
begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang.
Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih
ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi
yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir
bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.
“’Pada suatu waktu,’ kata Ajo Sidi
memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang.
Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa
dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di
mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang
yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena
ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surge. Kedua tangannya ditopangnya di
pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika
dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum
ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya,
seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang
yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh.
Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan
pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke
Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak Tanya nama. Nama bagiku,
tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu,
Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam, bahkan
setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku.
Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang
dihumbalangkan iblis laknat itu.’
‘Lain?’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku
selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam
kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu
berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia
telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan
Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi
menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang
harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air
matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ Tanya Tuhan
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o,
Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji
Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan
dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah
tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada
lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu
membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o,
Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena
Engkaulah yang Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang
kaukerjakan di dunia selain yang kuceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer
Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenap ia dibawa ke neraka. Ia
tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak
silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh,
karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya,
karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya
dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali
ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan
bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh,
orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji
Saleh kemudian, ‘Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan
itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya
ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu
orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.’
Kata salah seorang di antaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil.’ Kata orang-orang
itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta
kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan,
kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang
lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui
kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang
banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata
Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara
lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung pada keadaan,’ kata
Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan
demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka
bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama
menghadap Tuhan.
Dan tuhan bertanya. ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru
bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah,
ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini
adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu.
Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,
mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar
kepala kami. Tak sesaat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, mka di sini, atas nama
orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan
kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surge sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’
Tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal
di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh
oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami.
Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan
telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan
telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri, di mana tanahnya begitu
subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri
kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya
sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak orang
lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah
itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang
mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak
mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu?’
‘Di negeri yang selalu kacau itu,
hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga
yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi kami soal harta
benda itu kami yak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji
Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu
juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu
melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar
kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang
disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan
dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu
kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih
suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau
negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena
ibadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh
engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal
kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja,
hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua
mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya.’
Semua jadi pucat pasi tak berani
berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di
dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia
itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya
saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau
kami menyembah Tuhan di dunia?’ Tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena
engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu
kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau
di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka
sedikit pun.’”
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang
kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun
rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati
di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan
pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,”
kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi
aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku Tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo
Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar
dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan
akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak
sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja."
oooOOooo