Minggu, 26 Maret 2017
Sabtu, 25 Maret 2017
Unsur-Unsur Pembangun Puisi (Puisi Bagian 2)
UNSUR-UNSUR PEMBANGUN PUISI
(PUISI BAGIAN 2)
Puisi
terdiri atas unsur-unsur yang bersifat padu, tidak dapat dipisahkan antara satu
unsur dengan unsur lainnya. Dalam kesatuannya, unsur-unsur tersebut bersifat
fungsional. Adapun yang dimaksud dengan ide kesatuan adalah bahwa struktur itu
merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak
dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Gambaran tentang puisi sebagai satu
struktur utuh, misalnya dapat dilihat pada sajak berikut.
GADIS PEMINTA-MINTA
Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Dalam puisi di atas dipenuhi nada keharuan penyair tersebut, dapat ditangkap lambang, kiasan, bunyi, diksi, dan unsur puisi lainnya yang khas untuk nada terharu. Ungkapan /senyummu terlalu kekal untuk kenal duka/ dan /tengadah padaku pada bulan merah jambu/ adalah sangat tepat untuk menggambarkan suasana sedih dan terharu. Kesedihan dan keterharuan belum tentu dapat diwakili oleh ungkapan lain. Pada puisi di atas penyair mengungkapkan keterharuannya dengan ungkapan /bulan merah jambu/. Keadaan dan keharuan penyair bukan disebabkan oleh keadaan dirinya sendiri, namun oleh keadaan /gadis kecil berkaleng kecil/. Kesedihan dan keharuan oleh rasa solidaritas kemanusiaan.
GADIS PEMINTA-MINTA
Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Dalam puisi di atas dipenuhi nada keharuan penyair tersebut, dapat ditangkap lambang, kiasan, bunyi, diksi, dan unsur puisi lainnya yang khas untuk nada terharu. Ungkapan /senyummu terlalu kekal untuk kenal duka/ dan /tengadah padaku pada bulan merah jambu/ adalah sangat tepat untuk menggambarkan suasana sedih dan terharu. Kesedihan dan keterharuan belum tentu dapat diwakili oleh ungkapan lain. Pada puisi di atas penyair mengungkapkan keterharuannya dengan ungkapan /bulan merah jambu/. Keadaan dan keharuan penyair bukan disebabkan oleh keadaan dirinya sendiri, namun oleh keadaan /gadis kecil berkaleng kecil/. Kesedihan dan keharuan oleh rasa solidaritas kemanusiaan.
Menurut
Herman J. Waluyo (1995:186) bahwa puisi memiliki dua struktur, yaitu struktur
fisik dan struktur batin. Dikatakannya bahwa struktur fisik adalah apa yang
dapat dilihat melalui bahasanya atau unsur bunyinya, sedangkan struktur batin
adalah unsur yang dapat dihayati yang disampaikan secara tidak langsung.
Keduanya disebut struktur karena masing-masing terdiri atas unsurunsur yang
lebih kecil yang bersama-sama membangun kesatuan puisi.
Pendapat
lain yang sering digunakan di dalam pengkajian puisi adalah pendapat yang
disampaikan oleh Richards dalam Ristiani, (2003:20). Ia menyebut unsur
pembangun puisi berdasarkan bentuk dan isi dengan istilah metode puisi dan
hakikat puisi. Metode adalah media bagaimana puisi tersebut diungkapkan,
sedangkan hakikat adalah unsur hakiki yang menjiwai puisi. Sementara itu, Atar
Semi menyebutkan unsur pembangun puisi dengan tiga bentuk, yakni lapisan bunyi,
lapisan arti, dan lapisan tema. Lapisan bunyi, yakni lapisan lambang-lambang
bahasa puisi (bentuk fisik puisi). Lapisan arti adalah sejumlah makna yang
dilambangkan oleh struktur atau oleh lapisan bunyi. Lapisan tema adalah suatu
”dunia” pengucapan karya puisi. Sesuatu yang menjadi tujuan penyair. Lapisan
arti dan lapisan tema disebut juga bentuk mental.
Dalam
kegiatan pembelajaran ini, istilah yang akan digunakan berkenaan dengan
unsur-unsur pembangun puisi ini adalah istilah struktur fisik puisi dan
struktur batin puisi.
a.
Struktur Fisik Puisi
Struktur
fisik puisi atau unsur-unsur bentuk puisi merupakan unsur estetik yang
membangun struktur luar puisi. Struktur fisik puisi dapat ditelaah di dalam
metode puisi, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif
(majas), versifikasi (rima dan ritma), dan tata wajah (tipografi dan
enjambemen). Berikut adalah uraian mengenai aspek-aspek struktur fisik
tersebut.
1)
Diksi
Diksi
adalah pilihan kata yang digunakan dengan secermat oleh penyair. Diksi
merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan
suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca.
Pada saat pemilihan kata ini, sering terjadi pergulatan dalam diri penyair
bagaimana dia memilih kata yang tepat, baik yang mengandung makna denotatif
maupun yang bermakna konotatif. Selain itu, penyair juga mempertimbangkan
urutan katanya, bunyi katanya, dan kekuatan (daya magis) dari kata-kata
tersebut.
Puisi
merupakan bentuk puisi yang bersifat konsentratif dan aksentuatif, artinya
lebih memusatkan pada isi dari pada kulit luarnya. Hal ini akan berpengaruh
terhadap pemilihan kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang digunakan di dalam
puisi bersifat singkat, padat, mantap, berat dan sarat akan makna. Pemadatan di
dalam puisi dapat dicapai dengan penghematan pemakaian katakata. rinsip yang
harus diingat adalah bahwa menulis puisi bukan menulis katakata, melainkan
menulis esensi dari kata-kata itu (Tjahyono, 1988:59).
Berdasarkan uraian di atas, hal yang harus dipahami dalam diksi atau pemilihan kata itu adalah: perbendaharaan katanya, urutan katanya, dan daya sugesti katanya. Perbendaharaan kata sangat penting untuk mengungkapkan kekuatan ekspresi. Antara penyair yang satu dengan penyair yang lainnya tidaklah sama, karena dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair, daerah, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain. Oleh karena itu, sering ditemukan puisi yang dibangun oleh kalimat-kalimat yang terpenggal, kurang sempurna, bahkan kadang terdiri atas satu kata saja. Perhatikanlah puisi Chairil Anwar di bawah ini
ISA
Berdasarkan uraian di atas, hal yang harus dipahami dalam diksi atau pemilihan kata itu adalah: perbendaharaan katanya, urutan katanya, dan daya sugesti katanya. Perbendaharaan kata sangat penting untuk mengungkapkan kekuatan ekspresi. Antara penyair yang satu dengan penyair yang lainnya tidaklah sama, karena dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair, daerah, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain. Oleh karena itu, sering ditemukan puisi yang dibangun oleh kalimat-kalimat yang terpenggal, kurang sempurna, bahkan kadang terdiri atas satu kata saja. Perhatikanlah puisi Chairil Anwar di bawah ini
ISA
itu tubuh
mengucur darah mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Urutan
kata (word order) di dalam puisi
bersifat beku. Artinya, urutan kata tersebut tidak dapat dipindahkan tempatnya
meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan kata tersebut. Cara penyusunan
urutan kata itu (baik urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam suatu bait
puisi) sangat bergantung kepada penyair itu sendiri.
Daya
sugesti kata-kata sangat diperhatikan oleh penyair. Sugesti ini ditimbulkan
oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena
ketepatan pilihan kata dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu
seolah-olah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca
untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, ataupun marah sekalipun.
2)
Pengimajian
Pengimajian
dapat dibatasi dengan pengertian; kata atau susunan kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), atau seolah benda yang tampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat
dirasakan, diraba atau disentuh (imaji
taktil).
Jika
penyair menginginkan imaji pendengaran (imaji
auditif), maka jika kita membaca puisi tersebut seolah kita ikut
mendengarkan sesuatu. Jika penyair menginginkan imaji penglihatan (imaji visual), maka puisi itu
seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak. Jika penyair menginginkan
imaji perasaan (imaji taktil), maka
pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan. Berikut contoh penggalan puisi
yang memperlihatkan pengimajian:
Contoh: Imaji Visual
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
dari manakah mereka
Ke stasium kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
ke manakah mereka
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta!
siapakah mereka
akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Contoh: Imaji Visual
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
dari manakah mereka
Ke stasium kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
ke manakah mereka
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta!
siapakah mereka
akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Pada
larik /perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta/ seolaholah
tampak perempuan yang sedang membawa bakul. Demikian juga pada larik / ... mereka datang dari bukit-bukit desa/ seolah-olah tergambar orangorang yang
berjalan dari bukit-bukit desa. Sementara itu pada larik /Mereka berlomba ... menuju ke gerbang kota/ seakan-akan ada sekelompok orang yang tergesa-gesa berjalan
menuju ke kota/. Larik-larik tersebut yang mengungkapkan pengalaman sensori
penglihatan menunjukkan adanya pengimajian secara visual.
Contoh: Imaji Auditif
TANAH KELAHIRAN I
Ramadhan K.H.
Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanparahu
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Contoh: Imaji Auditif
TANAH KELAHIRAN I
Ramadhan K.H.
Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanparahu
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Foto By Roni Suliandana: Gunung Galunggung, Tasikmalaya
Larik
/Seruling di pasir ipis, merdu/ menstimulasi
sensori pendengaran, solah-olah terdengar suara seruling yang merdu. Pada larik /tembang menggema di dua kaki/ seakan-akan
terdengar suara nyanyian. Larik-larik yang mengungkapkan pengalaman sensori
pendengaran menunjukkan adanya pengimajian secara auditif.
Contoh: Imaji Taktil
Contoh: Imaji Taktil
Imaji taktil dapat kita lihat pada puisi Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya yang berjudul ‘Gadis Peminta-minta’, seperti yang dituliskan di muka. Dalam puisinya tersebut ia sangat mahir menciptakan imaji, sehingga seolah pembaca menghayati penderitaan gadis peminta-minta baik secara visual, maupun secara taktil. Dalam larik /Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral/ /melintas-lintas di atas air kotor tapi begitu kauhafal/ /Jiwa begitu murni, terlalu murni/ /Untuk bisa membagi dukaku/.
Ada
beberapa upaya di dalam pengimajian ini seperti dengan menggunakan kombinasi kata dan repetisi. Kombinasi kata dapat
ditempuh dengan cara: penjajaran pararelisme, penjajaran paradoksal, penjajaran
metafora, penjajaran personifikasi. Repetisi ditempuh dengan cara mengulang
bagian-bagian yang sudah dibunyikan. Seperti dalam sajak Isa di depan, yang
mengulang-ulang kata-kata /mengucur
darah/.
1)
Kata Konkret
Untuk
membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca,maka kata-kata harus diperkonkret.
Kata-kata yang diperkonkret ini erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan
lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah
melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh panyair. Dengan
demikian, pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi tersebut.
Dengan
kata-kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas keadaan
atau peristiwa yang digambarkan penyair. Seperti pada sajak “Gadis
Peminta-minta”, untuk melukiskan gadis itu seorang pengemis yang gembel,
penyair mengkonkretkannya dengan kata-kata /gadis kecil berkaleng kecil/.
Lukisan itu lebih konkret daripada ‘gadis peminta-minta’ atau ‘gadis miskin’.
Begitu
juga seperti yang tampak di dalam puisi Chairil Anwar. Misalnya dalam sajaknya
yang berjudul ‘Doa’, ia mengkonkretkan gambaran jiwanya yang penuh dosa dengan
menggunakan kata-kata: aku hilang
bentuk/remuk. Untukmelukiskan tekadnya yang bulat kembali ke jalan Tuhan,
diperkonkret dengat ungkapan: Tuhanku/ di
pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. Untuk memperkonkret sikap
kebebasannya, Chairil Anwar menggunakan katakata: “aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya yang terbuang”. Untuk
memperkonkret cita-citanya yang abadi,ia menggunakan kata-kata: “kumau hidup seribu tahun lagi”. Pada
saat Chairil Anwar bersiap-siap menghadapi kematian, suasana gelisah
diperkonkret dengan kata-kata: “aku
berrenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang”.
2)
Majas (Bahasa Figuratif)
Bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Bahasa
yang digunakan seakan-akan berfigura (bersusun-susun). Bahasa yang dinyatakan
sebagai bahasa figuratif ini terdiri atas pengiasan yang menimbulkan makna
kias, dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Kata atau bahasanya
bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
Bahasa
figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan
penyair, karena: 1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif;
2) bahasa imajinatif adalah cara untuk menghasilkan imajinasi tambahan dalam
puisi, sehingga yang abstrak menjadi konkret, dan menjadikan puisi enak dibaca;
3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair; 4) bahasa
figuratif adalah cara mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan
(menyampaikan sesuatu yang banyak dengan bahasa yang singkat).
Untuk
memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus dapat menafsirkan kiasan dan
lambang yang dibuat penyair baik lambang yang konvensional maupun lambang yang
nonkonvensional. Kiasan (gaya bahasa) sebagai upaya untuk menimbulkan makna
kias ini, antaralain: metafora (kiasan langsung), perbandingan (kiasan tidak
langsung), personifikasi, hiperbola, sinkdoce, ironi, dan lain-lain.
Selain
kiasan, penyair juga menggunakan pelambangan. Pelambangan tersebut digunakan
penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi
lebih jelas, sehingga dapat menggugah hati pembaca. Jika dalam kiasan suatu hal
dikiaskan (dibandingkan) dengan hal lain, maka di dalam pelambangan, sesuatu
hal tersebut digantiatau dilambangkan dengan hal lain. Misalnya lambang yang
terdapat di dalam upacara perkawinan, berupa: janur kuning yang melambangkan
kebahagiaan dan kesucian pengantin yang masih muda.
Macam-macam
lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan oleh penyair
untuk mengganti keadaan atau peristiwa. Ada lambang warna, lambang
benda,lambang bunyi, lambang suasana,dan lain-lain. Pelambangan erat
hubungannya dengan kata-kata konkret.
Dengan pelambangan kata-kata yang diciptakan menjadi lebih konkret sehingga
mempermudah proses pengimajian. Misalnya:
“Kabut Sutra Ungu”, menggunakan warna ungu untuk melambangkan kesedihan pelaku
utamanya; Burung dara jantan yang dulu
kau pelihara/ kini telah terbang dan menemui jodohnya/ ia akan pulang buat
selama-lamanya. Perhatikanlah puisi Chairil Anwar di bawah ini!
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air, tidur, hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air, tidur, hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap
Chairil Anwar
Untuk
menciptakan suasana duka, Chairil Anwar dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” menggunakan
bunyi-bunyi /i/ yang dipadu dengan bunyi /a/.
3)
Versifikasi (Rima, Ritme)
Bunyi
di dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi di
dalam puisi. Digunakan kata rima untuk menggantikan istilah persajakan pada
sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangan bunyi tidak
hanya pada akhir baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. Dalam rima
terdapat onomatope (tiruan terhadap
bunyi-bunyi yang ada), bentuk intern pola
bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi.
Contoh
kata-kata onomatope seperti yang banyak digunakan Sutardi Calzoum Bachri: ngiau, huss, ping, pong, papaliko, dan
lain-lain. Contoh intern pola bunyi (Sunda: Purwakanti): aliterasi, asonansi,
persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh,
repetisi bunyi, dan sebagainya. Rima juga tidak hanya pada pengulangan bunyi,
tapi dapat juga terjadi pada pengulangan kata/ungkapan.
Ritme
adalah suatu bentuk irama, yakni suatu gerak yang teratur, suatu rentetan bunyi
berulang dan menimbulkan variasi bunyi yang menciptakan gerak yang hidup. Ritme
dibentuk dengan jalan mempertentangkan bunyi, membuat perulangan, menyingkat
kata, dan pemilihan kata yang tepat. Perhatikan
puisi di bawah ini!
NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Taufik Ismail
Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya Rosul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Illahi
NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Taufik Ismail
Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya Rosul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Illahi
Rima
pada puisi “Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa”
berupa pengulangan bunyi, yaitu persamaan awal yang ditunjukkan dengan
pengulangan kata “jika adalah” dan “ialah”.
Ritme
(irama) pada puisi tersebut di antaranya terbangun dengan pemilihan kata / ...
kebenaran/ ... keyakinan/ ... kezaliman/ ... Rosul Tuhan/ ... syahid di jalan
Illah/. Pemilihan kata-kata tersebut menimbulkan variasi bunyi yang menciptakan
gerak yang hidup.
4)
Tata Wajah (Tipografi dan Enjambemen)
Tipografi
dan enjambemen merupakan dua hal yang menyangkut perwajahan sebuah puisi.
Tipografi disebut juga ukiran bentuk. Dalam sebuah puisi, tipografi diartikan
sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi. Tujuannya adalah
untuk menghasilkan suatu bentuk fisik (menciptakan keindahan visual) yang
mendukung isi, rasa, dan suasana. Termasuk ke dalam tipografi sebagai lukisan
bentuk puisi ini adalah pemakaian huruf kapital dan huruf kecil serta pemakaian
tanda baca.
Enjambemen
adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir larik kemudian pemotongannya
diletakkan pada larik berikutnya. Manfaat enjambemen akan terwujud apabila
penggunaannya dilakukan dengan penuh kesadaran dalam rangka mencapai tujuan.
Tidak ada aturan tertentu dalam berenjambemen ini, karena hal ini menyangkut
masalah gaya dan teknik penulisan yang sifatnya sangat personal. Berikut adalah
contoh tata wajah dalam puisi.
1943
Chairil Anwar
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandus
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
1943
Chairil Anwar
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandus
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
Tata
wajah yang dibuat oleh Chairil Anwar pada puisi “1943” antara lain, pusi
tersebut dibuat dalam satu bait sehingga memberikan makna yang lebih utuh
(satu). Tata wajah lainnya adalah penulisan larik seperti /Mengeluh. Mengguruh/ Menentang.
Menyerang/. Larik tersebut terdiri atas dua kata yang dipisahkan dengan
tanda baca titik (.). Sementara itu, enjambemen atau pemotongan kalimat atau
frase pada puisi “1943”, misalnya, terlihat pada /Kau/ Aku/ Terpaku/. Untuk
menciptakan suasana yang diinginkan, Chairil Anwar memilih menuliskan bagian
puisi tersebut dalam larik-larik yang berbeda meskipun dapat saja dibuat dalam
satu larik seperti /Kau, aku terpaku/.
a.
Struktur Batin Puisi
Struktur batin
puisi adalah segala hal yang ingin diungkapkan penyair berkenaan dengan
perasaan dan suasana jiwanya. Ungkapan perasaannya itu disampaikan melalui
media bahasa. Medium bahasa itulah yang merupakan struktur fisiknya. Pada
bahasa yang digunakan tersebut, ada banyak makna yang terkandung di dalamnya.
Lebih-lebih lagi, kata-kata, frase dan kalimat yang digunakan di dalam puisi
menggunakan bahasa figuratif.
L.A.
Richards menyebut struktur batin puisi itu dengan istilah hakikat puisi.
Menurutnya, ada empat unsur hakikat sebuah puisi, yakni:
1)
Tema
Tema
merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair. Gagasan pokok tersebut begitu
kuat mempengaruhi panyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika
desakan kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya
bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat itu berupa rasa belas kasih atau
kemanusiaan, maka puisinya bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan
untuk memprotes ketidakadilan, maka temanya adalah protes atau kritik sosial.
Jika perasaan cinta (kasih sayang, asmara, patah hati) yang kuat, maka tema
puisinya adalah tema percintaan. Berikut ini
contoh puisi ketuhanan.
DOA
Amir Hamzah
Dengan apa kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
DOA
Amir Hamzah
Dengan apa kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Pada
puisi ”Doa” digambarkan sebuah pertemuan antara ”aku” dan ”kekasih”, /Hatiku terang menerima katamu …/ Kalbuku
terbuka menunggu kasihmu …/ Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu/ Penuhi
dadaku dengan cayamu/. Namun, yang dimaksud “kekasih” di dalam puisi ini adalah
Tuhan. Oleh karena itu, puisi “Doa” tergolong puisi bertema ketuhanan.
Contoh
puisi kemanusiaan antara lain puisi “Gadis
Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar yang sudah dituliskan di
depan. Pada puisi tersebut diungkapkan rasa sedih dan solidaritas pengarang
terhadap nasib ”gadis kecil berkaleng kecil” atau peminta-minta. Bahkan,
penulis menyebutkan bahwa jika ”gadis kecil berkaleng kecil” tidak ada, kota
tidak lagi punya tanda.
Puisi
yang bertema patriotisme/kebangsaan adalah puisi yang dapat meningkatkan
perasaan cinta akan bangsa dan tanah air, melukiskan perjuangan merebut
kemerdekaan, mengisahkan riwayat seorang
pahlawan dalam melawan penjajah, meningkatkan rasa kenasionalan dan membina
kesatuan bangsa. Berikut adalah contoh puisi yang bertema patriotisme.
DIPONEGORO
Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang – berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang.
DIPONEGORO
Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang – berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang.
Tema
patriotisme/kebangsaan pada puisi ”Diponegoro” sangat nyata terlihat, bahwa di
masa pembangunan ini semangat perjuangan seperti yang ditunjukkan pahlawan
Diponegoro harus dibangun. Tak gentar walau rintangan menghadang. Bahkan, harus
rela walau keberhasilan pembangun baru terwujud setelah kita tiada.
Puisi
lainnya yang berisi tema kebangsaan ini adalah sajak yang berjudul “Krawang Bekasi” (Chairil Anwar), “Kita adalah Pemilik Sah Republik ini” (Taufik
Ismail), dan lain-lain. Selain itu ada juga puisi yang bertema keadilan sosial
seperti sajak “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya” karya Rendra.
2)
Rasa (Feeling)
Feeling atau rasa
adalah sikap penyair terhadap subjek atau pokok persoalan yang terdapat di
dalam puisi. Karena itu untuk mengungkapkan tema yang sama, jika perasaan
penyair berbeda, hasil puisi yang diciptakannya pun akan berbeda. Sikap-sikap
itu mungkin berupa kemarahan, kasihan,simpatik, rasa senang dan tidak senang,
acuh tak acuh, dan sebagainya. Sebagai contoh, pokok persoalannya adalah
pengemis. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto Bachtiar.
Coba baca kembali puisi ”Gadis Peminta-minta” dan bandingkan dengan puisi
”Peminta-minta”. Begitupun yang bertemakan ketuhanan, Anada dapat membandingkan
puisi “Doa” karya Chairil Anwar dengan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Karena
sikap penyair terhadap Tuhan pada saat itu berbeda, maka perasaan yang
dihasilkan juga berbeda. Perasaan cinta yang diungkapkan Chairil Anwar dalam
sajaknya “Senja di Pelabuhan Kecil” berbeda
pula dengan perasaan cinta yang diungkapkan Rendra dalam sajaknya “Surat Cinta”.
3)
Nada dan Suasana
Nada
adalah sikap penyair terhadap pembaca, apakah ia ingin bersikap menggurui,
menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas. Ada juga puisi yang
bernada santai, karena penyair bersikap santai kepada pembaca, misalnya dalam
puisi-puisi mbeling (Waluyo, 1995:126).
Jika
nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa
pembaca setelah membaca puisi tersebut atau akibat psikologis yang ditimbulkan
puisi itu terhadap pembaca. Kerananya, nada dan suasana saling berhubungan
sebab nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Misalnya, nada duka
yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembacanya. Nada
lainnya yang diciptakan penyair seperti nada gemas, nada main-main, nada
revolusioner, nada memelas, nada gelisah, dan lain-lain. Untuk pemahaman akan
nada ini, bacalah sajak ”Diponegoro” karya Charil Anwar di muka sebagai contoh
nada revolusioner atau nada mainmain dari sajak ”Sajak Sakit Gigi” karya
Yudistira.
4)
Amanat
Amanat
atau pesan ini sering pula disebut tujuan, yakni tujuan penyair dengan
menciptakan sajak atau puisi tersebut. Amanat atau tujuan yang ingin
diungkapkan penyair pada umumnya sesuai dengan pekerjaan, cita-cita, pandangan
hidup, keyakinan yang dianut penyair, dan lain-lain. Amanat yang akan
disampaikan penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada
puisi itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang tersusun dan juga di balik
tema yang diungkapkan.
Ada perbedaan
tema dengan amanat.
Dalam merumuskan amanat,
tema itu harus dilengkapi dengan
perasaan dan nada yang dikemukakan penyair. Jadi, bisa saja temanya sama,
misalnya tema Ketuhanan, tetapi mungkin amanatnya berbeda karena
penyair mempunyai perasaan
dan nada yang
berbeda. Rumusan tema bersifat
objektif dan sama
bagi semua pembaca,
sedangkan rumusan amanat dapat
berbeda bergantung penafsiran
masing-masing. Artinya, amanat
sebuah puisi dapat
bersifat interpretatif, setiap
orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda.
Pengertian dan Hakikat Puisi (Bagian 1)
PENGERTIAN DAN HAKIKAT PUISI
(PUISI BAGIAN 1)
Pemahaman
tentang pengertian, hakikat, dan unsur-unsur pembangun wajib kita miliki agar
pemahaman tentang puisi lebih aktual, artinya pemahaman puisi sesuai dengan
konsep puisi kontemporer (masa kini). Bahwa terdapat puisi lama yang
mensyaratkan berbagai aturan, memang tetap harus kita kenali. Dengan pembahasan
ini juga diharapkan kita dapat memiliki pengetahuan yang cukup tentang
teori-teori puisi, khususnya berkaitan dengan hakikat dan unsur-unsur pembangun
puisi. Akhirnya, dengan bekal pemahaman tersebut diharapkan kita dapat
“menggauli” puisi dengan penuh rasa cinta.
A.
Pengertian Puisi
Sering
terjadi kesalahpahaman ketika mendefinisikan puisi. Puisi sering disebut
karangan terikat. Kesalahpahaman tersebut terjadi akibat mendefinisikan puisi
membandingkan dengan batasan prosa dan masih mengacu pada contoh puisi-puisi
lama. Jika puisi merupakan karangan yang terikat oleh aturan-aturan (jumlah
baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris, bunyi-bunyi akhir
baris, dan sebagainya), bagaimanakah dengan puisi-puisi seperti di bawah ini?
Rumah Kenangan
Nenden Lilis Aisyah
Seorang tanpa rumah tak bisa pulang ke mana-mana
Kecuali pada kenangan di atas pohon jambu
Pada ibu-bapak renta yang terpekur di kamar berdebu
Lemari kusam itu masih dirasa miliknya
Meski lubang kuncinya macet,
pintunya tak bisa menutup,
Cerminnya memantulkan bayang-bayang lonjong
Bekas tanah dicangkul dan baju berlumur
Yang menggantung di balik dapur juga
Seperti sisa hatinya
Meski selalu ada yang terasa sulit
Tumbuh seperti pohon apel di kebun belakang
Daunnya rangkas dimakan ulat
Atau pohon delima, buahnya belah sebelum masak
Tapi seorang tanpa rumah masih ingin tinggal
Meski tak tahu, masih adakah yang rindu,
Masihkah ada yang menunggu?
Ia hanya tahu
Hidup sesungguhnya sendiri
Rumah Kenangan
Nenden Lilis Aisyah
Seorang tanpa rumah tak bisa pulang ke mana-mana
Kecuali pada kenangan di atas pohon jambu
Pada ibu-bapak renta yang terpekur di kamar berdebu
Lemari kusam itu masih dirasa miliknya
Meski lubang kuncinya macet,
pintunya tak bisa menutup,
Cerminnya memantulkan bayang-bayang lonjong
Bekas tanah dicangkul dan baju berlumur
Yang menggantung di balik dapur juga
Seperti sisa hatinya
Meski selalu ada yang terasa sulit
Tumbuh seperti pohon apel di kebun belakang
Daunnya rangkas dimakan ulat
Atau pohon delima, buahnya belah sebelum masak
Tapi seorang tanpa rumah masih ingin tinggal
Meski tak tahu, masih adakah yang rindu,
Masihkah ada yang menunggu?
Ia hanya tahu
Hidup sesungguhnya sendiri
Berdasarkan
contoh puisi di atas, pengertian puisi sebagai karangan terikat sudah tidak
bisa diterima. Hal itu karena wujud puisi sudah mengalami perkembangan.
Perkembangan itu pula yang menyebabkan pengertian puisi pun berkembang.
Secara
etimologis kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti ”membuat”, poeisis
yang berarti ”pembuatan”, atau poeites yang berarti ”pembuat, pembangun, atau
pembentuk”. Di Inggris puisi disebut poem
atau poetry yang artinya tak jauh
berbeda dengan to make atau to create sehingga lama sekali di
Inggris puisi disebut maker.
Secara
istilah, puisi dapat diartikan sebagai berikut.
1.
Puisi adalah pengucapan dengan perasaan sedangkan prosa pengucapan
dengan pikiran
(H.B.Jassin dalam Thahjono, 1988: 49)
2.
Puisi mengajarkan sebanyak mungkin, dengan kata-kata sedikit
mungkin.
(Ralph Waldo Emerson dalam Thahjono, 1988: 49)
3.
Puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan
suara sebagai ciri khasnya (rima, ritme, musikalitas).
(Slamet Mulyana dalam Ristiani, 2003:17)
4.
Puisi merupakan suatu karangan yang mengandung irama. Irama
merupakan ciri puisi yang membedakannya dengan prosa. Perbandingan puisi dan
prosa diibaratkan dengan orang yang menari dan berjalan biasa.
(H.B. Yasssin dalam
Ristiani, 2003:18)
5.
Puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang
mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.
(Clive Samson dalam Ristiani, 2003:19)
Berdasarkan
batasan di atas, wujud puisi itu adalah bahasa yang padat (sedikit kata-kata,
tetapi mengandung banyak makna). Keindahan struktur bahasa yang digunakan
sangat diperhatikan (rima, ritme, musikalitas). Apa yang tersembunyi di balik
bahasa yang digunakan itu adalah makna yang ingin disampaikan. Makna yang
dikandungnya tersebut dapat berupa pikiran, perasaan, pendapat, kritikan, dan
lain-lain.
Pemadatan
di dalam puisi adalah pengintensifan segala unsur bahasa. Unsurunsur bahasa
tersebut di dalam penyusunannya dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya
dengan memperhatikan keindahan bunyi (rima, ritme, dan musikalitas).
B.
Hakikat Puisi
Seperti
yang dikemukakan di atas bahwa hakikat puisi tidak terletak pada bentuk
formalnya. Bentuk formal hanyalah sebagai sarana kepuitisan yang digunakan
penyair untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Ada tiga aspek yang
perlu dipahami untuk mengerti hakikat puisi, yakni: 1) fungsi estetik; 2)
kepadatan; dan 3) ekspresi tidak langsung.
1. Fungsi Estetik
Puisi
merupakan salah satu bentuk karya sastra, fungsi estetik sangat dominan, sangat
berkuasa. Tanpa fungsi seni ini, karya kebahasaan tidak dapat disebut sebagai
karya seni puisi. Unsur-unsur estetik atau keindahan di dalam karya puisi
tersebut merupakan unsur-unsur kepuitisan seperti diksi, rima (persajakan),
irama, gaya bahasa, dan sebagainya.
2. Kepadatan
Yang
dimaksud dengan kepadatan adalah pemadatan kata-kata. Di dalam puisi, tidak
semua peristiwa diceritakan, akan tetapi yang diekspresikan adalah inti
masalah, atau inti cerita. Karena itu, kadang-kadang kata-kata hanya diambil
inti dasarnya. Imbuhan-imbuhan, baik awalan maupun akhiran sering dihilangkan.
Perhatikanlah contoh sajak di bawah ini:
PENERIMAAN
Chairil Anwar
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
PENERIMAAN
Chairil Anwar
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Foto: Chairil Anwar
Sajak
Penerimaan ini penuh pemadatan.
Banyak kata yang hanya menggunakan inti dasarnya, kata selengkapnya atau
imbuhan dihilangkan, seperti pada kata /kau/ (engkau), /kutahu/ (aku
mengetahui), /dulu/ (dahulu), /tunduk/ (menunduk). Selain itu, ada
kalimat-kalimat yang dihilangkan, sehingga hubungan antarkalimatnya implisit,
misalnya: /Kalau kau mau kuterima kau
kembali/ (tetapi tentu hanya untukku sendiri; jangan terbagi dengan yang
lain; sekalipun aku sadar keberadaanku; tidak pantas dengan dirimu); (karena) /sedang dengan cermin aku enggan berbagi/.
Kata-kata dan kalimat-kalimat tambahan yang tidak dieksplisitkan dalam sajak
disimpan dalam tanda kurung.
1. Ekspresi Tidak Langsung
Puisi
merupakan karya puisi yang berisi ekspresi seorang penyair. Ekspresi yang
dikemukakan adalah ekspresi pikiran atau gagasan atau perasaan yang tidak
langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:120)
disebabkan oleh tiga hal, yakni: a) karena penggantian arti (displacing of meaning); b) karena
penyimpangan arti (distorting of
meaning); dan c) karena penciptaan arti (creating
of meaning).
a)
Penggantian Arti (displacing
of meaning)
Terjadinya
penggantian arti karena digunakannya bahasa kiasan di dalam karya puisi,
seperti penggunaan majas metafora, metonimia, simile (perbandingan),
personifikasi, sinekdok, dan lain-lain. Perhatikanlah sajak berikut!
SAJAK PUTIH
Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
SAJAK PUTIH
Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
/Di hitam matamu kembang mawar dan melati
/ mawar dan melati adalah metafora dalam baris tersebut, bermakna sesuatu yang
indah. /sepi menyanyi/ merupakan
personifikasi ‘sepilah yang menyanyi’, dan seterusnya.
b)
Penyimpangan Arti
Penyimpangan
arti ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: ambiguitas,
kontradiksi, dan nonsene.
1. Ambiguitas
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa puisi itu bermakna ganda (polyinterpretable), apalagi di dalam
puisi. Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal
ini disebabkan oleh sifat puisi yang
berupa pemadatan. Berikut contoh ambiguitas di dalam sebuah sajak pada puisi
Chairil Anwar.
DOA
Kepada Pemeluk Teguh
Chairil Anwar
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
DOA
Kepada Pemeluk Teguh
Chairil Anwar
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Dalam
baris pertama terlihat bahwa si ”aku” masih /termangu/, atau ragu-ragu akan adanya Tuhan, tetapi si ”aku” masih
menyebut-nyebut nama Tuhan. Pada bait kedua, meskipun si ”aku” merasa sangat /susah/ untuk menyebut nama Tuhan, tetapi
si aku /masih menyebut/ nama-Nya,
karena ia sadar bahwa Kau itu /penuh
seluruh/. Klausa “Kau penuh seluruh”, mempunyai makna ganda, bisa
dimaknakan: Engkau mutlak ada, Engkau maha sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak
dapat diingkari, Engkau sungguh-sungguh ada secara utuh.
/Aku hilang bentuk/ /remuk/ dimaknakan bahwa si ”aku” sangat menderita, dan karena
seakan si aku tidak berbentuk dan berwujud lagi. Dalam keadaan seperti itu pula
si aku merasa bahwa dirinya seakan /mengembara
di negeri asing/, terpencil dari yang lain. Dalam keadaan tidak berdaya, si
”aku” masih berusaha /mengetuk pintu/
Tuhannya yang maha Rohman. Karena itu juga, si aku /tidak bisa berpaling/.
2. Kontradiksi
Seringkali
puisi itu menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal itu untuk membuat pembaca
berpikir, hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan di dalam
sajak. Kontradiksi atau pertentangan ini disebabkan oleh paradoks dan ironi.
Perhatikanlah puisi berikut ini!
SUJUD
Mustofa Bisri (1993)
Bagaimana kau hendak bersujud
Pasrah
Sedang wajahmu yang bersih
Sumringah
Keningmu yang mulia
dan indah
Begitu pongah
Minta sajadah
Agar tak menyentuh
tanah
Apakah kau melihatnya
Seperti iblis saat menolak
menyembah bapakmu
Dengan congkak
Tanah hanya patut diinjak
Tempat kencing dan berak
Membuang ludah dan dahakl
Atau paling jauh hanya
Lahan pemanjaan
Nafsu serakah dan tamak?
Apakah kau lupa
Bahwa tanah adalah bapak
Dari mana ibumu dilahirkan
Tanah adalah ibu
Yang menyusuimu
Dan memberi makan
Tanah adalah kawan
Yang memelukmu dalam kesendirian
Dalam perjalanan panjang
Menuju keabadian?
Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Latakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung Alloh membelaimu
Dan terbanglah, kekasihku!
SUJUD
Mustofa Bisri (1993)
Bagaimana kau hendak bersujud
Pasrah
Sedang wajahmu yang bersih
Sumringah
Keningmu yang mulia
dan indah
Begitu pongah
Minta sajadah
Agar tak menyentuh
tanah
Apakah kau melihatnya
Seperti iblis saat menolak
menyembah bapakmu
Dengan congkak
Tanah hanya patut diinjak
Tempat kencing dan berak
Membuang ludah dan dahakl
Atau paling jauh hanya
Lahan pemanjaan
Nafsu serakah dan tamak?
Apakah kau lupa
Bahwa tanah adalah bapak
Dari mana ibumu dilahirkan
Tanah adalah ibu
Yang menyusuimu
Dan memberi makan
Tanah adalah kawan
Yang memelukmu dalam kesendirian
Dalam perjalanan panjang
Menuju keabadian?
Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Latakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung Alloh membelaimu
Dan terbanglah, kekasihku!
Paradoks
mengandung arti bertentangan, seperti tampak pada bait pertama, baris /bagaimana kau hendak bersujud/ pasrah/
sedang wajahmu yang bersih/ sumringah/ begitu pongah/ minta sajadah/ agar tak
menyentuk tanah/. Seseorang yang mau bersujud tetapi minta tidak menyentuh
tanah. Selanjutnya pada bait kedua, penyair menyindir dengan pertanyaan yang di
dalamnya berisi pernyataan-pernyataan iblis yang tidak mau bersujud kepada Adam
(Iblis menolak perintah Alloh). Selanjutnya, pada bait ketiga, penyair
mengingatkan kepada pembaca /apakah kau
lupa/ bahwa tanah adalah bapak/ dari mana ibumu dilahirkan/ tanah adalah ibu/
yang menyusuimu/ dan seterusnya.
3. Nonsense
Nonsense adalah
kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa
rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya puisi,
nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan konvensi
puisi, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense itu
ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan dunia
mistik, bisa juga disebut puisi sufistik. Contohnya puisi Sutardji Calzoum
Bahri dalam sajaknya yang berjudul “Amuk”
seperti di bawah ini:
AMUK
..... aku
bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang
memburu
membebaskan
kata
memanggilMu
pot
pot pot
pot pot
kalau
pot tak mau pot
biar pot semua
pot
mencari
pot
pot
hei
Kau dengar manteraku
Kau dengan
kucing memanggilMu
Izukalizu
Mapakazaba
itasatali
tutulita
papaliko
arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba
dekodega zamzam logotokoco
zukuzangga
zegezegezezukuzangga zege
zegeze
zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga
zegezegeze aahh.....!
mama
kalian bebas
carilah tuhan semaumu
carilah tuhan semaumu
Kata-kata
seperti pot, izukalizu, mapakazaba, itasatali, tutulita, papaliko arukabazaku kodega
zuzukalibu, dan seterusnya adalah
contoh kata-kata yang nonsense. Di sinilah terjadinya penyimpangan arti
tersebut.
c)
Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
Penciptaan
arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam
karya puisi). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di luar
linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan
adalah pengaturan bait-bait; Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada
baris yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai pengaturan bunyi pada akhir baris;
Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak; Homologues
adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada
pantun). Berikut adalah contoh sajak yang banyak mengandung penciptaan arti.