Minggu, 26 Maret 2017

Sabtu, 25 Maret 2017

Unsur-Unsur Pembangun Puisi (Puisi Bagian 2)

UNSUR-UNSUR PEMBANGUN PUISI
(PUISI BAGIAN 2)

Puisi terdiri atas unsur-unsur yang bersifat padu, tidak dapat dipisahkan antara satu unsur dengan unsur lainnya. Dalam kesatuannya, unsur-unsur tersebut bersifat fungsional. Adapun yang dimaksud dengan ide kesatuan adalah bahwa struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Gambaran tentang puisi sebagai satu struktur utuh, misalnya dapat dilihat pada sajak berikut.

GADIS PEMINTA-MINTA
Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

          Dalam puisi di atas dipenuhi nada keharuan penyair tersebut, dapat ditangkap lambang, kiasan, bunyi, diksi, dan unsur puisi lainnya yang khas untuk nada terharu. Ungkapan /senyummu terlalu kekal untuk kenal duka/ dan /tengadah padaku pada bulan merah jambu/ adalah sangat tepat untuk menggambarkan suasana sedih dan terharu. Kesedihan dan keterharuan belum tentu dapat diwakili oleh ungkapan lain. Pada puisi di atas penyair mengungkapkan keterharuannya dengan ungkapan /bulan merah jambu/. Keadaan dan keharuan penyair bukan disebabkan oleh keadaan dirinya sendiri, namun oleh keadaan /gadis kecil berkaleng kecil/. Kesedihan dan keharuan oleh rasa solidaritas kemanusiaan.
Menurut Herman J. Waluyo (1995:186) bahwa puisi memiliki dua struktur, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Dikatakannya bahwa struktur fisik adalah apa yang dapat dilihat melalui bahasanya atau unsur bunyinya, sedangkan struktur batin adalah unsur yang dapat dihayati yang disampaikan secara tidak langsung. Keduanya disebut struktur karena masing-masing terdiri atas unsurunsur yang lebih kecil yang bersama-sama membangun kesatuan puisi.
Pendapat lain yang sering digunakan di dalam pengkajian puisi adalah pendapat yang disampaikan oleh Richards dalam Ristiani, (2003:20). Ia menyebut unsur pembangun puisi berdasarkan bentuk dan isi dengan istilah metode puisi dan hakikat puisi. Metode adalah media bagaimana puisi tersebut diungkapkan, sedangkan hakikat adalah unsur hakiki yang menjiwai puisi. Sementara itu, Atar Semi menyebutkan unsur pembangun puisi dengan tiga bentuk, yakni lapisan bunyi, lapisan arti, dan lapisan tema. Lapisan bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa puisi (bentuk fisik puisi). Lapisan arti adalah sejumlah makna yang dilambangkan oleh struktur atau oleh lapisan bunyi. Lapisan tema adalah suatu ”dunia” pengucapan karya puisi. Sesuatu yang menjadi tujuan penyair. Lapisan arti dan lapisan tema disebut juga bentuk mental.
Dalam kegiatan pembelajaran ini, istilah yang akan digunakan berkenaan dengan unsur-unsur pembangun puisi ini adalah istilah struktur fisik puisi dan struktur batin puisi.
 
a.      Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi atau unsur-unsur bentuk puisi merupakan unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Struktur fisik puisi dapat ditelaah di dalam metode puisi, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi (rima dan ritma), dan tata wajah (tipografi dan enjambemen). Berikut adalah uraian mengenai aspek-aspek struktur fisik tersebut.

1)      Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan dengan secermat oleh penyair. Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca. Pada saat pemilihan kata ini, sering terjadi pergulatan dalam diri penyair bagaimana dia memilih kata yang tepat, baik yang mengandung makna denotatif maupun yang bermakna konotatif. Selain itu, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya, bunyi katanya, dan kekuatan (daya magis) dari kata-kata tersebut.
Puisi merupakan bentuk puisi yang bersifat konsentratif dan aksentuatif, artinya lebih memusatkan pada isi dari pada kulit luarnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap pemilihan kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang digunakan di dalam puisi bersifat singkat, padat, mantap, berat dan sarat akan makna. Pemadatan di dalam puisi dapat dicapai dengan penghematan pemakaian katakata. rinsip yang harus diingat adalah bahwa menulis puisi bukan menulis katakata, melainkan menulis esensi dari kata-kata itu (Tjahyono, 1988:59). 
Berdasarkan uraian di atas, hal yang harus dipahami dalam diksi atau pemilihan kata itu adalah: perbendaharaan katanya, urutan katanya, dan daya sugesti katanya. Perbendaharaan kata sangat penting untuk mengungkapkan kekuatan ekspresi. Antara penyair yang satu dengan penyair yang lainnya tidaklah sama, karena dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair, daerah, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain. Oleh karena itu, sering ditemukan puisi yang dibangun oleh kalimat-kalimat yang terpenggal, kurang sempurna, bahkan kadang terdiri atas satu kata saja. Perhatikanlah puisi Chairil Anwar di bawah ini

ISA

itu tubuh
mengucur darah mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka

aku bersuka

itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah


Urutan kata (word order) di dalam puisi bersifat beku. Artinya, urutan kata tersebut tidak dapat dipindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan kata tersebut. Cara penyusunan urutan kata itu (baik urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam suatu bait puisi) sangat bergantung kepada penyair itu sendiri. 
Daya sugesti kata-kata sangat diperhatikan oleh penyair. Sugesti ini ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan pilihan kata dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu seolah-olah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, ataupun marah sekalipun.

2)      Pengimajian
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian; kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif),  atau seolah benda yang tampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat dirasakan, diraba atau disentuh (imaji taktil).
Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (imaji auditif), maka jika kita membaca puisi tersebut seolah kita ikut mendengarkan sesuatu. Jika penyair menginginkan imaji penglihatan (imaji visual), maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak. Jika penyair menginginkan imaji perasaan (imaji taktil), maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan. Berikut contoh penggalan puisi yang memperlihatkan pengimajian: 

Contoh: Imaji Visual

PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Hartoyo Andangjaya

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
dari manakah mereka
Ke stasium kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
ke manakah mereka
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta!
siapakah mereka
akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa


Pada larik /perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta/ seolaholah tampak perempuan yang sedang membawa bakul. Demikian juga pada larik / ... mereka datang dari bukit-bukit desa/ seolah-olah tergambar orangorang yang berjalan dari bukit-bukit desa. Sementara itu pada larik /Mereka berlomba ... menuju ke gerbang kota/ seakan-akan ada  sekelompok orang yang tergesa-gesa berjalan menuju ke kota/. Larik-larik tersebut yang mengungkapkan pengalaman sensori penglihatan menunjukkan adanya pengimajian secara visual.

Contoh: Imaji Auditif

TANAH KELAHIRAN I
Ramadhan K.H.

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanparahu

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,

Jamrut di hati gadis menurun.

Foto By Roni Suliandana: Gunung Galunggung, Tasikmalaya

Larik /Seruling di pasir ipis, merdu/ menstimulasi sensori pendengaran, solah-olah terdengar suara seruling yang merdu. Pada larik /tembang menggema di dua kaki/ seakan-akan terdengar suara nyanyian. Larik-larik yang mengungkapkan pengalaman sensori pendengaran menunjukkan adanya pengimajian secara auditif.

Contoh: Imaji Taktil

Imaji taktil dapat kita lihat pada puisi Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya yang berjudul ‘Gadis Peminta-minta’, seperti yang dituliskan di muka. Dalam puisinya tersebut ia sangat mahir menciptakan imaji, sehingga seolah pembaca menghayati penderitaan gadis peminta-minta baik secara visual, maupun secara taktil. Dalam larik /Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral/ /melintas-lintas di atas air kotor tapi begitu kauhafal/ /Jiwa begitu murni, terlalu murni/ /Untuk bisa membagi dukaku/.

Ada beberapa upaya di dalam pengimajian ini seperti dengan menggunakan kombinasi kata dan repetisi. Kombinasi kata dapat ditempuh dengan cara: penjajaran pararelisme, penjajaran paradoksal, penjajaran metafora, penjajaran personifikasi. Repetisi ditempuh dengan cara mengulang bagian-bagian yang sudah dibunyikan. Seperti dalam sajak Isa di depan, yang mengulang-ulang kata-kata /mengucur darah/.

1)      Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca,maka kata-kata harus diperkonkret. Kata-kata yang diperkonkret ini erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh panyair. Dengan demikian, pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisi tersebut.
Dengan kata-kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas keadaan atau peristiwa yang digambarkan penyair. Seperti pada sajak “Gadis Peminta-minta”, untuk melukiskan gadis itu seorang pengemis yang gembel, penyair mengkonkretkannya dengan kata-kata /gadis kecil berkaleng kecil/. Lukisan itu lebih konkret daripada ‘gadis peminta-minta’ atau ‘gadis miskin’.
Begitu juga seperti yang tampak di dalam puisi Chairil Anwar. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Doa’, ia mengkonkretkan gambaran jiwanya yang penuh dosa dengan menggunakan kata-kata: aku hilang bentuk/remuk. Untukmelukiskan tekadnya yang bulat kembali ke jalan Tuhan, diperkonkret dengat ungkapan: Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. Untuk memperkonkret sikap kebebasannya, Chairil Anwar menggunakan katakata: “aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya yang terbuang”. Untuk memperkonkret cita-citanya yang abadi,ia menggunakan kata-kata: “kumau hidup seribu tahun lagi”. Pada saat Chairil Anwar bersiap-siap menghadapi kematian, suasana gelisah diperkonkret dengan kata-kata: “aku berrenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang”.
2)      Majas (Bahasa Figuratif)
Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Bahasa yang digunakan seakan-akan berfigura (bersusun-susun). Bahasa yang dinyatakan sebagai bahasa figuratif ini terdiri atas pengiasan yang menimbulkan makna kias, dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, karena: 1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; 2) bahasa imajinatif adalah cara untuk menghasilkan imajinasi tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak menjadi konkret, dan menjadikan puisi enak dibaca; 3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair; 4) bahasa figuratif adalah cara mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan (menyampaikan sesuatu yang banyak dengan bahasa yang singkat).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus dapat menafsirkan kiasan dan lambang yang dibuat penyair baik lambang yang konvensional maupun lambang yang nonkonvensional. Kiasan (gaya bahasa) sebagai upaya untuk menimbulkan makna kias ini, antaralain: metafora (kiasan langsung), perbandingan (kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, sinkdoce, ironi, dan lain-lain.
Selain kiasan, penyair juga menggunakan pelambangan. Pelambangan tersebut digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah hati pembaca. Jika dalam kiasan suatu hal dikiaskan (dibandingkan) dengan hal lain, maka di dalam pelambangan, sesuatu hal tersebut digantiatau dilambangkan dengan hal lain. Misalnya lambang yang terdapat di dalam upacara perkawinan, berupa: janur kuning yang melambangkan kebahagiaan dan kesucian pengantin yang masih muda.
Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan oleh penyair untuk mengganti keadaan atau peristiwa. Ada lambang warna, lambang benda,lambang bunyi, lambang suasana,dan lain-lain. Pelambangan erat hubungannya dengan kata-kata  konkret. Dengan pelambangan kata-kata yang diciptakan menjadi lebih konkret sehingga mempermudah proses pengimajian.        Misalnya: “Kabut Sutra Ungu”, menggunakan warna ungu untuk melambangkan kesedihan pelaku utamanya; Burung dara jantan yang dulu kau pelihara/ kini telah terbang dan menemui jodohnya/ ia akan pulang buat selama-lamanya. Perhatikanlah puisi Chairil Anwar di bawah ini!

SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut,
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air, tidur, hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap

Chairil Anwar

Untuk menciptakan suasana duka, Chairil Anwar dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”  menggunakan bunyi-bunyi /i/ yang dipadu dengan bunyi /a/.

3)      Versifikasi (Rima, Ritme)
Bunyi di dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi di dalam puisi. Digunakan kata rima untuk menggantikan istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangan bunyi tidak hanya pada akhir baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. Dalam rima terdapat onomatope (tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada), bentuk intern pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi.
Contoh kata-kata onomatope seperti yang banyak digunakan Sutardi Calzoum Bachri: ngiau, huss, ping, pong, papaliko, dan lain-lain. Contoh intern pola bunyi (Sunda: Purwakanti): aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi, dan sebagainya. Rima juga tidak hanya pada pengulangan bunyi, tapi dapat juga terjadi pada pengulangan kata/ungkapan. 
Ritme adalah suatu bentuk irama, yakni suatu gerak yang teratur, suatu rentetan bunyi berulang dan menimbulkan variasi bunyi yang menciptakan gerak yang hidup. Ritme dibentuk dengan jalan mempertentangkan bunyi, membuat perulangan, menyingkat kata, dan pemilihan kata yang tepat. Perhatikan puisi di bawah ini!

NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
                                           Taufik Ismail

Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya Rosul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Illahi


Rima pada puisi “Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa” berupa pengulangan bunyi, yaitu persamaan awal yang ditunjukkan dengan pengulangan kata “jika adalah” dan “ialah”.
Ritme (irama) pada puisi tersebut di antaranya terbangun dengan pemilihan kata / ... kebenaran/ ... keyakinan/ ... kezaliman/ ... Rosul Tuhan/ ... syahid di jalan Illah/. Pemilihan kata-kata tersebut menimbulkan variasi bunyi yang menciptakan gerak yang hidup.

4)      Tata Wajah (Tipografi dan Enjambemen)
Tipografi dan enjambemen merupakan dua hal yang menyangkut perwajahan sebuah puisi. Tipografi disebut juga ukiran bentuk. Dalam sebuah puisi, tipografi diartikan sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi. Tujuannya adalah untuk menghasilkan suatu bentuk fisik (menciptakan keindahan visual) yang mendukung isi, rasa, dan suasana. Termasuk ke dalam tipografi sebagai lukisan bentuk puisi ini adalah pemakaian huruf kapital dan huruf kecil serta pemakaian tanda baca.
Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir larik kemudian pemotongannya diletakkan pada larik berikutnya. Manfaat enjambemen akan terwujud apabila penggunaannya dilakukan dengan penuh kesadaran dalam rangka mencapai tujuan. Tidak ada aturan tertentu dalam berenjambemen ini, karena hal ini menyangkut masalah gaya dan teknik penulisan yang sifatnya sangat personal. Berikut adalah contoh tata wajah dalam puisi.

1943
                  Chairil Anwar

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandus
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku

Tata wajah yang dibuat oleh Chairil Anwar pada puisi “1943” antara lain, pusi tersebut dibuat dalam satu bait sehingga memberikan makna yang lebih utuh (satu). Tata wajah lainnya adalah penulisan larik seperti /Mengeluh. Mengguruh/ Menentang. Menyerang/. Larik tersebut terdiri atas dua kata yang dipisahkan dengan tanda baca titik (.). Sementara itu, enjambemen atau pemotongan kalimat atau frase pada puisi “1943”, misalnya, terlihat pada /Kau/ Aku/ Terpaku/. Untuk menciptakan suasana yang diinginkan, Chairil Anwar memilih menuliskan bagian puisi tersebut dalam larik-larik yang berbeda meskipun dapat saja dibuat dalam satu larik seperti /Kau, aku terpaku/.

a.      Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi adalah segala hal yang ingin diungkapkan penyair berkenaan dengan perasaan dan suasana jiwanya. Ungkapan perasaannya itu disampaikan melalui media bahasa. Medium bahasa itulah yang merupakan struktur fisiknya. Pada bahasa yang digunakan tersebut, ada banyak makna yang terkandung di dalamnya. Lebih-lebih lagi, kata-kata, frase dan kalimat yang digunakan di dalam puisi menggunakan bahasa figuratif.
L.A. Richards menyebut struktur batin puisi itu dengan istilah hakikat puisi. Menurutnya, ada empat unsur hakikat sebuah puisi, yakni:

1)      Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair. Gagasan pokok tersebut begitu kuat mempengaruhi panyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat itu berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisinya bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka temanya adalah protes atau kritik sosial. Jika perasaan cinta (kasih sayang, asmara, patah hati) yang kuat, maka tema puisinya adalah tema percintaan. Berikut ini contoh puisi ketuhanan.

DOA
                         Amir Hamzah

Dengan apa kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan,
melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke
bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap
malam menyirak kelopak
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!


Pada puisi ”Doa” digambarkan sebuah pertemuan antara ”aku” dan ”kekasih”, /Hatiku terang menerima katamu …/ Kalbuku terbuka menunggu kasihmu …/ Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu/ Penuhi dadaku dengan cayamu/. Namun, yang dimaksud “kekasih” di dalam puisi ini adalah Tuhan. Oleh karena itu, puisi “Doa” tergolong puisi bertema ketuhanan.
Contoh puisi kemanusiaan antara lain puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar  yang sudah dituliskan di depan. Pada puisi tersebut diungkapkan rasa sedih dan solidaritas pengarang terhadap nasib ”gadis kecil berkaleng kecil” atau peminta-minta. Bahkan, penulis menyebutkan bahwa jika ”gadis kecil berkaleng kecil” tidak ada, kota tidak lagi punya tanda.
Puisi yang bertema patriotisme/kebangsaan adalah puisi yang dapat meningkatkan perasaan cinta akan bangsa dan tanah air, melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan,  mengisahkan riwayat seorang pahlawan dalam melawan penjajah, meningkatkan rasa kenasionalan dan membina kesatuan bangsa. Berikut adalah contoh puisi yang bertema patriotisme.

DIPONEGORO
Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar, Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang – berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang.

Tema patriotisme/kebangsaan pada puisi ”Diponegoro” sangat nyata terlihat, bahwa di masa pembangunan ini semangat perjuangan seperti yang ditunjukkan pahlawan Diponegoro harus dibangun. Tak gentar walau rintangan menghadang. Bahkan, harus rela walau keberhasilan pembangun baru terwujud setelah kita tiada.
Puisi lainnya yang berisi tema kebangsaan ini adalah sajak yang berjudul “Krawang Bekasi” (Chairil Anwar), “Kita adalah Pemilik Sah Republik ini” (Taufik Ismail), dan lain-lain. Selain itu ada juga puisi yang bertema keadilan sosial seperti sajak “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya” karya Rendra.  

2)      Rasa (Feeling)
Feeling atau rasa adalah sikap penyair terhadap subjek atau pokok persoalan yang terdapat di dalam puisi. Karena itu untuk mengungkapkan tema yang sama, jika perasaan penyair berbeda, hasil puisi yang diciptakannya pun akan berbeda. Sikap-sikap itu mungkin berupa kemarahan, kasihan,simpatik, rasa senang dan tidak senang, acuh tak acuh, dan sebagainya. Sebagai contoh, pokok persoalannya adalah pengemis. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto Bachtiar. Coba baca kembali puisi ”Gadis Peminta-minta” dan bandingkan dengan puisi ”Peminta-minta”. Begitupun yang bertemakan ketuhanan, Anada dapat membandingkan puisi “Doa”  karya Chairil Anwar dengan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Karena sikap penyair terhadap Tuhan pada saat itu berbeda, maka perasaan yang dihasilkan juga berbeda. Perasaan cinta yang diungkapkan Chairil Anwar dalam sajaknya “Senja di Pelabuhan Kecil” berbeda pula dengan perasaan cinta yang diungkapkan Rendra dalam sajaknya “Surat Cinta”.

3)      Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca, apakah ia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas. Ada juga puisi yang bernada santai, karena penyair bersikap santai kepada pembaca, misalnya dalam puisi-puisi mbeling (Waluyo, 1995:126).
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Kerananya, nada dan suasana saling berhubungan sebab nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Misalnya, nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembacanya. Nada lainnya yang diciptakan penyair seperti nada gemas, nada main-main, nada revolusioner, nada memelas, nada gelisah, dan lain-lain. Untuk pemahaman akan nada ini, bacalah sajak ”Diponegoro” karya Charil Anwar di muka sebagai contoh nada revolusioner atau nada mainmain dari sajak ”Sajak Sakit Gigi” karya Yudistira.

4)      Amanat
Amanat atau pesan ini sering pula disebut tujuan, yakni tujuan penyair dengan menciptakan sajak atau puisi tersebut. Amanat atau tujuan yang ingin diungkapkan penyair pada umumnya sesuai dengan pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, keyakinan yang dianut penyair, dan lain-lain. Amanat yang akan disampaikan penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang tersusun dan juga di balik tema yang diungkapkan.
Ada  perbedaan  tema  dengan  amanat.  Dalam  merumuskan  amanat,  tema  itu harus dilengkapi dengan perasaan dan nada yang dikemukakan penyair. Jadi, bisa saja temanya sama, misalnya tema Ketuhanan, tetapi mungkin amanatnya berbeda  karena  penyair  mempunyai  perasaan  dan  nada  yang  berbeda. Rumusan  tema  bersifat  objektif  dan  sama  bagi  semua  pembaca,  sedangkan rumusan  amanat  dapat  berbeda  bergantung  penafsiran  masing-masing. Artinya,  amanat  sebuah  puisi  dapat  bersifat  interpretatif,  setiap  orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda. 

Pengertian dan Hakikat Puisi (Bagian 1)

PENGERTIAN DAN HAKIKAT PUISI
(PUISI BAGIAN 1)

Pemahaman tentang pengertian, hakikat, dan unsur-unsur pembangun wajib kita miliki agar pemahaman tentang puisi lebih aktual, artinya pemahaman puisi sesuai dengan konsep puisi kontemporer (masa kini). Bahwa terdapat puisi lama yang mensyaratkan berbagai aturan, memang tetap harus kita kenali. Dengan pembahasan ini juga diharapkan kita dapat memiliki pengetahuan yang cukup tentang teori-teori puisi, khususnya berkaitan dengan hakikat dan unsur-unsur pembangun puisi. Akhirnya, dengan bekal pemahaman tersebut diharapkan kita dapat “menggauli” puisi dengan penuh rasa cinta.

A.     Pengertian Puisi
Sering terjadi kesalahpahaman ketika mendefinisikan puisi. Puisi sering disebut karangan terikat. Kesalahpahaman tersebut terjadi akibat mendefinisikan puisi membandingkan dengan batasan prosa dan masih mengacu pada contoh puisi-puisi lama. Jika puisi merupakan karangan yang terikat oleh aturan-aturan (jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris, bunyi-bunyi akhir baris, dan sebagainya), bagaimanakah dengan puisi-puisi seperti di bawah ini?

Rumah Kenangan
Nenden Lilis Aisyah

Seorang tanpa rumah tak bisa pulang ke mana-mana
Kecuali pada kenangan di atas pohon jambu
Pada ibu-bapak renta yang terpekur di kamar berdebu

Lemari kusam itu masih dirasa miliknya
Meski lubang kuncinya macet,
pintunya tak bisa menutup,

Cerminnya memantulkan bayang-bayang lonjong

Bekas tanah dicangkul dan baju berlumur
Yang menggantung di balik dapur juga
Seperti sisa hatinya
Meski selalu ada yang terasa sulit
Tumbuh seperti pohon apel di kebun belakang

Daunnya rangkas dimakan ulat
Atau pohon delima, buahnya belah sebelum masak

Tapi seorang tanpa rumah masih ingin tinggal 
Meski tak tahu, masih adakah yang rindu, 
Masihkah ada yang menunggu?

Ia hanya tahu
Hidup sesungguhnya sendiri

Berdasarkan contoh puisi di atas, pengertian puisi sebagai karangan terikat sudah tidak bisa diterima. Hal itu karena wujud puisi sudah mengalami perkembangan. Perkembangan itu pula yang menyebabkan pengertian puisi pun berkembang. 
Secara etimologis kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti ”membuat”, poeisis yang berarti ”pembuatan”, atau poeites yang berarti ”pembuat, pembangun, atau pembentuk”. Di Inggris puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to create sehingga lama sekali di Inggris puisi disebut maker.
Secara istilah, puisi dapat diartikan sebagai berikut.
1.      Puisi adalah pengucapan dengan perasaan sedangkan prosa pengucapan dengan pikiran
(H.B.Jassin dalam Thahjono, 1988: 49) 
2.      Puisi mengajarkan sebanyak mungkin, dengan kata-kata sedikit mungkin.
(Ralph Waldo Emerson dalam Thahjono, 1988: 49)
3.      Puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (rima, ritme, musikalitas).
(Slamet Mulyana dalam Ristiani, 2003:17)
4.      Puisi merupakan suatu karangan yang mengandung irama. Irama merupakan ciri puisi yang membedakannya dengan prosa. Perbandingan puisi dan prosa diibaratkan dengan orang yang menari dan berjalan biasa.
    (H.B. Yasssin dalam Ristiani, 2003:18)
5.      Puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.
(Clive Samson dalam Ristiani, 2003:19)

Berdasarkan batasan di atas, wujud puisi itu adalah bahasa yang padat (sedikit kata-kata, tetapi mengandung banyak makna). Keindahan struktur bahasa yang digunakan sangat diperhatikan (rima, ritme, musikalitas). Apa yang tersembunyi di balik bahasa yang digunakan itu adalah makna yang ingin disampaikan. Makna yang dikandungnya tersebut dapat berupa pikiran, perasaan, pendapat, kritikan, dan lain-lain.
Pemadatan di dalam puisi adalah pengintensifan segala unsur bahasa. Unsurunsur bahasa tersebut di dalam penyusunannya dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan keindahan bunyi (rima, ritme, dan musikalitas). 
 
B.     Hakikat Puisi
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa hakikat puisi tidak terletak pada bentuk formalnya. Bentuk formal hanyalah sebagai sarana kepuitisan yang digunakan penyair untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Ada tiga aspek yang perlu dipahami untuk mengerti hakikat puisi, yakni: 1) fungsi estetik; 2) kepadatan; dan 3) ekspresi tidak langsung.

1.      Fungsi Estetik
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra, fungsi estetik sangat dominan, sangat berkuasa. Tanpa fungsi seni ini, karya kebahasaan tidak dapat disebut sebagai karya seni puisi. Unsur-unsur estetik atau keindahan di dalam karya puisi tersebut merupakan unsur-unsur kepuitisan seperti diksi, rima (persajakan), irama, gaya bahasa, dan sebagainya.

2.      Kepadatan
Yang dimaksud dengan kepadatan adalah pemadatan kata-kata. Di dalam puisi, tidak semua peristiwa diceritakan, akan tetapi yang diekspresikan adalah inti masalah, atau inti cerita. Karena itu, kadang-kadang kata-kata hanya diambil inti dasarnya. Imbuhan-imbuhan, baik awalan maupun akhiran sering dihilangkan. Perhatikanlah contoh sajak di bawah ini:

PENERIMAAN
Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Foto: Chairil Anwar

Sajak Penerimaan ini penuh pemadatan. Banyak kata yang hanya menggunakan inti dasarnya, kata selengkapnya atau imbuhan dihilangkan, seperti pada kata /kau/ (engkau), /kutahu/ (aku mengetahui), /dulu/ (dahulu), /tunduk/ (menunduk). Selain itu, ada kalimat-kalimat yang dihilangkan, sehingga hubungan antarkalimatnya implisit, misalnya: /Kalau kau mau kuterima kau kembali/ (tetapi tentu hanya untukku sendiri; jangan terbagi dengan yang lain; sekalipun aku sadar keberadaanku; tidak pantas dengan dirimu); (karena) /sedang dengan cermin aku enggan berbagi/. Kata-kata dan kalimat-kalimat tambahan yang tidak dieksplisitkan dalam sajak disimpan dalam tanda kurung.

1.      Ekspresi Tidak Langsung
Puisi merupakan karya puisi yang berisi ekspresi seorang penyair. Ekspresi yang dikemukakan adalah ekspresi pikiran atau gagasan atau perasaan yang tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:120) disebabkan oleh tiga hal, yakni: a) karena penggantian arti (displacing of meaning); b) karena penyimpangan arti (distorting of meaning); dan c) karena penciptaan arti (creating of meaning).

a)      Penggantian Arti (displacing of meaning)
Terjadinya penggantian arti karena digunakannya bahasa kiasan di dalam karya puisi, seperti penggunaan majas metafora, metonimia, simile (perbandingan), personifikasi, sinekdok, dan lain-lain. Perhatikanlah sajak berikut!

SAJAK PUTIH
Chairil Anwar

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah

/Di hitam matamu kembang mawar dan melati / mawar dan melati adalah metafora dalam baris tersebut, bermakna sesuatu yang indah. /sepi menyanyi/ merupakan personifikasi ‘sepilah yang menyanyi’, dan seterusnya.

b)      Penyimpangan Arti
      Penyimpangan arti ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsene.

1.      Ambiguitas
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa puisi itu bermakna ganda (polyinterpretable), apalagi di dalam puisi. Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal ini  disebabkan oleh sifat puisi yang berupa pemadatan. Berikut contoh ambiguitas di dalam sebuah sajak pada puisi Chairil Anwar.

DOA
Kepada Pemeluk Teguh
Chairil Anwar

Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Dalam baris pertama terlihat bahwa si ”aku” masih /termangu/, atau ragu-ragu akan adanya Tuhan, tetapi si ”aku” masih menyebut-nyebut nama Tuhan. Pada bait kedua, meskipun si ”aku” merasa sangat /susah/ untuk menyebut nama Tuhan, tetapi si aku /masih menyebut/ nama-Nya, karena ia sadar bahwa Kau itu /penuh seluruh/. Klausa “Kau penuh seluruh”, mempunyai makna ganda, bisa dimaknakan: Engkau mutlak ada, Engkau maha sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak dapat diingkari, Engkau sungguh-sungguh ada secara utuh.
/Aku hilang bentuk/ /remuk/ dimaknakan bahwa si ”aku” sangat menderita, dan karena seakan si aku tidak berbentuk dan berwujud lagi. Dalam keadaan seperti itu pula si aku merasa bahwa dirinya seakan /mengembara di negeri asing/, terpencil dari yang lain. Dalam keadaan tidak berdaya, si ”aku” masih berusaha /mengetuk pintu/ Tuhannya yang maha Rohman. Karena itu juga, si aku /tidak bisa berpaling/.

2.      Kontradiksi
Seringkali puisi itu menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal itu untuk membuat pembaca berpikir, hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan di dalam sajak. Kontradiksi atau pertentangan ini disebabkan oleh paradoks dan ironi. Perhatikanlah puisi berikut ini!

SUJUD
Mustofa Bisri (1993)

Bagaimana kau hendak bersujud
Pasrah
Sedang wajahmu yang bersih
Sumringah
Keningmu yang mulia
dan indah
Begitu pongah
Minta sajadah
Agar tak menyentuh
tanah

Apakah kau melihatnya
Seperti iblis saat menolak
menyembah bapakmu
Dengan congkak
Tanah hanya patut diinjak
Tempat kencing dan berak
Membuang ludah dan dahakl
Atau paling jauh hanya
Lahan pemanjaan
Nafsu serakah dan tamak?

Apakah kau lupa
Bahwa tanah adalah bapak
Dari mana ibumu dilahirkan
Tanah adalah ibu
Yang menyusuimu
Dan memberi makan
Tanah adalah kawan
Yang memelukmu dalam kesendirian
Dalam perjalanan panjang
Menuju keabadian?

Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Latakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung Alloh membelaimu
Dan terbanglah, kekasihku!

Paradoks mengandung arti bertentangan, seperti tampak pada bait pertama, baris /bagaimana kau hendak bersujud/ pasrah/ sedang wajahmu yang bersih/ sumringah/ begitu pongah/ minta sajadah/ agar tak menyentuk tanah/. Seseorang yang mau bersujud tetapi minta tidak menyentuh tanah. Selanjutnya pada bait kedua, penyair menyindir dengan pertanyaan yang di dalamnya berisi pernyataan-pernyataan iblis yang tidak mau bersujud kepada Adam (Iblis menolak perintah Alloh). Selanjutnya, pada bait ketiga, penyair mengingatkan kepada pembaca /apakah kau lupa/ bahwa tanah adalah bapak/ dari mana ibumu dilahirkan/ tanah adalah ibu/ yang menyusuimu/ dan seterusnya.

3.      Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya puisi, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan konvensi puisi, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik. Contohnya puisi Sutardji Calzoum Bahri dalam sajaknya yang berjudul “Amuk”  seperti di bawah ini:


AMUK

.....       aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semua pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengan kucing memanggilMu
Izukalizu
Mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam logotokoco
zukuzangga zegezegezezukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh.....!
mama kalian bebas
carilah tuhan semaumu

Kata-kata seperti pot, izukalizu, mapakazaba, itasatali, tutulita, papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu, dan seterusnya adalah contoh kata-kata yang nonsense. Di sinilah terjadinya penyimpangan arti tersebut.

c)      Penciptaan Arti (Creating of Meaning)
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam karya puisi). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan adalah pengaturan bait-bait; Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada baris yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai pengaturan bunyi pada akhir baris; Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak; Homologues adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada pantun). Berikut adalah contoh sajak yang banyak mengandung penciptaan arti.